Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sang Mantri Benda Purbakala

Kompas.com - 25/07/2011, 03:02 WIB

”Orang-orang menyebut saya gila, tak apa-apa. Mereka hanya tak mengerti apa yang saya lakukan. Saya menghidupi diri sendiri dan banyak orang lain dengan hobi ini,” katanya.

Jadi mantri

Thamrin tak serta-merta ”gila” purbakala. Saat menginjak dewasa, ia sempat meninggalkan hobi purbakalanya. Selepas SMA tahun 1968, dia menjadi mantri kesehatan di Puskesmas Waled, kota kecamatan tak jauh dari tempat kelahirannya di Sindanglaut, Cirebon. Di puskesmas itu ia ikut merasakan penderitaan orang miskin. Selama menjadi pegawai negeri, hatinya berontak karena ada banyak ketidakadilan.

”Menjadi pegawai negeri itu meragukan sebab bisa tak jelas asal-muasal pendapatannya. Penghasilan itu bisa jadi hasil korupsi atau ’permainan’ atasan. Saya kecewa dan memutuskan tak lagi menjadi pegawai negeri,” katanya.

Pada 1985 ia terjun langsung ke masyarakat. Keahliannya di bidang kesehatan masih diperlukan warga sekitar. Ia rutin membeli obat untuk keperluan pengobatan warga.

”Saat itu dokter masih jarang, padahal banyak warga minta tolong. Saya tolong sebisanya. Misalnya, operasi bibir sumbing, menjahit luka, dan pengobatan ringan, seperti flu dan gatal-gatal. Tak ada tarifnya, terserah warga mampu memberi atau tidak,” ceritanya.

Karena kiprahnya itu, warga memanggilnya ”Pak Mantri”, sekalipun Thamrin sudah tak lagi berdinas di puskesmas.

Sembari melayani warga, ”Pak Mantri” kembali menjalani hobi lamanya, masuk-keluar hutan mencari batu hias dan benda purbakala. Setiap batu dan fosil yang dia temukan disimpan, lalu diubah jadi kriya seni. Namun, untuk tujuan itu, Thamrin pilih-pilih. Jika fosil dan batuan itu jumlahnya sedikit, ia tak mengutak-atiknya.

Jika jumlah fosil itu banyak, ia tak ragu menjualnya sebagai benda seni. Untuk sebuah batu fosil unik, ia mendulang puluhan juta rupiah. Sebagian dari pendapatan itu ia gunakan untuk membangun museum yang dikelolanya kini.

”Setiap fosil yang saya temukan selalu saya simpan dan laporkan kepada Balai Arkeologi di Bandung (Jawa Barat). Dari para ahli itu, saya belajar tentang kekayaan arkeologi dan geologi yang dimiliki Cirebon. Setiap temuan yang bernilai sejarah tinggi selalu saya simpan, tidak dijual,” ujarnya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com