Menurut Kepala Dinas Pemadam Kebakaran dan Penanggulangan Bencana DKI Jakarta Paimin Napitupulu, ada tiga komponen dasar untuk penanggulangan bencana, yakni kesiapan instansi yang bertugas, koordinasi antarinstansi, dan kesiapan masyarakat.
”Lihat saja kalau terjadi bencana kebakaran, warga pasti panik. Akibatnya, yang mereka lakukan sering kali justru membuat upaya penanggulangan bencana terhambat,” kata Paimin.
Penanggulangan bencana kebakaran yang boleh dibilang sering terjadi di Jakarta selalu banyak memakan korban. Catatan Kompas, sepanjang 2010, ada 708 kebakaran di seluruh wilayah Jakarta. Artinya, dalam sehari, ada dua hingga tiga kebakaran. Di Jakarta Barat saja, sejak Januari 2011, terjadi 99 kali kebakaran.
Wilayah Kecamatan Tambora, Jakarta Barat, yang sering dilanda kebakaran belum memadai dalam mitigasi bencana. Posko-posko kebakaran berdiri secara insidental ketika terjadi kebakaran. Kelengkapannya di tingkat kecamatan pun terbatas, termasuk dapur umum dan pertolongan medis.
”Untuk pertolongan pertama, kami mengandalkan warga sekitar lokasi kebakaran. Respons paling cepat datang dari warga sehingga keterlibatan masyarakat paling utama,” kata Camat Tambora Isnawa Adji, Minggu (10/7).
Sementara itu, Kepala Badan Koordinasi Penanggulangan Bencana Daerah DKI Jakarta Arfan Akilie mengatakan, setiap satuan kerja perangkat daerah (SKPD) telah mempunyai standar operasional untuk merespons bencana itu.
SKPD terkait, seperti dinas pemadam kebakaran, dinas sosial, dinas kesehatan, dan Palang Merah Indonesia (PMI), langsung turun tangan.
”Waktu respons dinas pemadam kebakaran hanya dalam hitungan menit. Waktu respons PMI empat jam, dinas sosial enam jam. Sudah cukup baik, tetapi akan kami perbaiki terus-menerus,” kata Arfan.
Upaya perbaikan terus-menerus juga dilakukan untuk menyempurnakan Peraturan Gubernur Nomor 67 Tahun 2008 tentang Penanggulangan Bencana.
”Masalah bencana tidak hanya bisa menangani masalah bencana itu sendiri, tetapi juga pemahaman masyarakat terhadap bencana, tanggap darurat dalam bencana, dan juga pascabencana. Setelah bencana usai, pekerjaan belum selesai. Butuh waktu yang lama, biaya yang tidak sedikit, dan koordinasi antarinstansi
Fauzi Bowo mengungkapkan, selain penanggulangan bencana, upaya pencegahan dampak buruk yang lebih besar pun telah dilakukan. Saat ini Jakarta sedang membuat peta zonasi wilayah yang paling berat jika terjadi gempa di sekitar Jakarta.
”Jakarta memang bukan termasuk wilayah yang kerap terkena gempa. Namun, Jakarta masih merasakan guncangannya. Untuk itu, perlu diperhatikan keamanan dalam mendirikan bangunan tinggi,” ujar Fauzi.
Dengan memperhatikan bahaya guncangan gempa itu, 700 gedung bertingkat di Jakarta dibangun dengan kualitas tahan gempa, seperti yang diatur Dinas Pengawasan dan Penertiban Bangunan DKI Jakarta.
Selain itu, upaya membebaskan lahan untuk ruang terbuka hijau (RTH) juga terus dilakukan. ”Selain rumah ibadah dan kantor-kantor pemerintah, RTH juga bisa dimanfaatkan untuk tempat penampungan jika terjadi bencana. Jadi, pada waktu biasa RTH menjadi taman interaktif, tetapi saat terjadi bencana bisa dijadikan tempat untuk evakuasi. Namun, pembebasan lahan bukan hal yang mudah untuk dilakukan,” papar Fauzi.
Kurangnya sumber daya manusia, anggaran, dan kesadaran masyarakat dirasa Arfan sebagai kendala dalam upaya penanggulangan bencana. Ia mencontohkan, dinas pemadam kebakaran seharusnya memiliki kekuatan 7.000 personel, tetapi saat ini hanya memiliki 3.400 personel. Alat-alat penunjang, seperti
Sadar akan pentingnya penanggulangan bencana, Polda Metro Jaya yang juga menjadi ujung tombak, kata Kepala Subdirektorat Penugasan Umum Direktorat Samapta Bhayangkara Ajun Komisaris Besar Lalu Iwan Maharda telah mempunyai unit khusus fungsi SAR, baik di darat maupun di air.
Unit khusus SAR itu adalah Seksi Pengamanan dan Penyelamatan Terbatas (Pamat). Menurut Lalu, dengan Pamat ini program peningkatan kemampuan SAR Polda lebih terarah. Ke depan, program pelatihan SAR Polda Metro melibatkan kepolisian di kabupaten/kota dan kecamatan.