Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ironi Kapal Pesiar

Kompas.com - 01/06/2011, 04:46 WIB

Bagi para petualang bahari yang gemar berkeliling dunia dengan kapal pesiar atau perahu layar bertiang tinggi, Indonesia adalah ”surga”. Negeri ini punya pesona sempurna; panorama dalam laut, pesisir pantai, gulungan ombak, tradisi budaya dan etnik, tarian, makanan, hutan, dan lainnya.

Akan tetapi, ternyata hanya puluhan kapal pesiar yang menyinggahi Indonesia. Wisatawan yang menggunakan kapal layar bertiang tinggi pun hanya mau datang saat digelar Sail Indonesia. Padahal, Singapura, Malaysia, dan Thailand setiap tahun dikunjungi ratusan kapal pesiar mewah dan ribuan perahu layar bertiang tinggi.

Ada sejumlah hal yang menjadi penghambat. Pertama, perahu layar dan kapal pesiar asing diharuskan mengantongi izin masuk ke wilayah Indonesia (Clearance Approval for Indonesian Teritory/CAIT). Izin itu diterbitkan empat pihak, yakni Badan Intelijen Strategis (BAIS), Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, Kementerian Luar Negeri, dan Markas Besar TNI. Proses perizinan memakan waktu minimal satu bulan.

Kedua, pemberian visa kunjungan ke Indonesia hanya berlaku selama dua bulan. Padahal, kecepatan perahu atau kapal pun terbatas, sementara perairan Indonesia sangat luas. ”Malaysia dan Thailand memberikan izin visa kunjungan untuk turis minat khusus ini selama satu tahun,” ujar Direktur Eksekutif Yayasan Cinta Bahari Raymon Lesmana.

Ketiga, ada peraturan Menteri Keuangan tahun 2006 mengategorikan semua sarana atau barang yang dibawa wisatawan asing ke Indonesia sebagai barang impor sementara. Itu berlaku juga terhadap wisatawan minat khusus.

Sebagai barang impor, otomatis perahu layar dan kapal pesiar juga dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), dan Pajak Penghasilan (PPh). Total ketiga jenis pajak itu sekitar 52 persen dari nilai barang. Jika harga perahu layar Rp 15 miliar per unit berarti turis asing itu harus menyetor Rp 7,8 miliar sebelum masuk ke RI. Uang jaminan itu dibayar ke kas negara melalui bank dan nantinya diambil kembali saat hendak keluar dari Indonesia. Masalahnya, proses pengambilan kembali uang itu selalu memakan waktu lama dengan birokrasi yang berbelit.

Keempat, Pemerintah RI juga mensyaratkan adanya bank garansi di negara asal turis asing untuk tinggal selama beberapa bulan di Indonesia. Persoalannya adalah tak ada bank bersedia menjamin warga suatu negara untuk tinggal di negara lain.

Kelima, jika para petualang bahari ingin bebas dari berbagai ketentuan itu harus mengantongi surat jaminan dari pejabat eselon satu di Indonesia atau agen perjalanan. Masalahnya, tak ada agen yang bersedia.

Regulasi ini, menurut praktisi bisnis wisata bahari, Aji Sularso, menjadi penghambat utama bagi kapal pesiar dan perahu layar tiang tinggi milik asing untuk masuk ke Indonesia. Biaya yang harus dikeluarkan untuk memperoleh izin masuk wilayah Indonesia jauh lebih mahal dibanding ongkos berwisata.

”Maka, rencana kunjungan ke Indonesia terpaksa dibatalkan. Mereka kemudian mengalihkan perjalanan menuju ke Malaysia dan Thailand. Di sana, mereka diberi berbagai kemudahan yang membuat wisatawan asing itu ingin tinggal lebih lama,” ujar Aji Sularso. Jadi, penghambat utama bisnis pariwisata Indonesia adalah pejabat kita sendiri. Amat ironi! (Jannes Eudes Wawa)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com