Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hilangnya Esensi Demokrasi

Kompas.com - 28/04/2011, 02:44 WIB

Padahal, banyak masyarakat yang kekurangan akses ekonomi, pendidikan, dan fasilitas kesehatan. Latifah Anum menggambarkan, betapa gaya hidup hura-hura itu begitu vulgarnya di mata masyarakat. ”Mereka sewa rumah besar, beli mobil, dimintai uang oleh keluarga besarnya, kalau hendak natalan belanja ke Jakarta, menyuplai tim suksesnya mulai dari telepon genggam sampai atap rumah,” kata Latifah Anum.

Hal serupa ditengarai anggota Majelis Rakyat Papua Arobi Ahmad yang pernah ikut dalam kancah pertarungan calon wakil gubernur pada pilkada lalu. Ia bahkan menyebutkan, maraknya spanduk di mana-mana sementara partai politik sebagai perahu untuk pencalonan belum jelas adalah masa menjual diri. Para calon masih dalam tahap perang psikologis ketika dua calon bisa mengklaim dukungan dari parpol yang sama. Hal itu juga yang membuat pemilu jadi rentan menimbulkan konflik internal partai.

”Money politics (politik uang) sekarang dominan,” kata Arobi. Yang perlu dilakukan para calon hanya perlu mengumbar janji dan memasang foto yang jelas. Apalagi, masyarakat cenderung memutuskan pada saat terakhir.

”Meski demikian, memang ada keunggulan spesial seperti pemberdayaan distrik dan kebiasaan kandidat untuk turun ke kampung-kampung dengan jalan kaki,” kata Arobi.

Dari sisi perangkat penyelenggara pilkada juga dikhawatirkan masih banyak ketidaksiapan. Pada pengalaman 2010, ALDP menyoroti KPU kota/kabupaten hingga ke jajaran terdepan di tingkat distrik dan kampung yang belum memahami tugasnya dengan baik dan masih mudah terjebak pada kepentingan kelompok tertentu. Berbagai dugaan suap muncul seperti di KPU Jayapura saat anggota KPU dianggap meloloskan calon tertentu, ada juga dugaan tentang penggelembungan hasil pilkada.

Lemahnya pendidikan politik dan sistem kontrol bagi pemilih dan parpol berdampak pada munculnya masalah di KPU terkait penghitungan suara. Buntutnya, muncul saling gugat di Mahkamah Konstitusi. Hasilnya, mulai dari perintah melakukan penghitungan suara ulang di distrik tertentu (seperti di Kabupaten Merauke) atau melakukan pilkada ulang (bukan putaran kedua) dan memasukkan pasangan calon yang sebelumnya tidak diloloskan oleh KPU setempat (Kota Jayapura).

Sekretaris Umum Dewan Adat Papua Leonard Imbiri menengarai, berbagai unsur kontra demokrasi seperti politik uang dan tidak mampunya perangkat pilkada membuat masyarakat jadi apatis. Masyarakat jadi terpolarisasi antara kepentingan primodialisme dan oportunistik yang sesaat. Menurutnya, pembagian sentimen tidak sekadar antara masyarakat pantai dan gunung, tetapi juga bagaimana pengalaman politik dengan masing-masing calon.

”Siapa yang menjamin suara yang kita kasih untuk A akan tetap untuk A. Ada banyak praktik yang membuat suara masyarakat hilang bahkan di beberapa tempat. Caranya dengan dibuat seperti ada kerusuhan dahulu, lalu kita tidak tahu bagaimana dengan kotak suara,” katanya.

Leonard mengatakan, berbeda dengan kultur masyarakat Papua, bentuk pemilihan yang ada saat ini tidak memungkinkan ada dialog. Yang ada hanya demokrasi simbolis yang ujung-ujungnya tidak akan memperjuangkan agenda yang penting buat masyarakat.

Lima tahun lalu, Dewan Adat Papua sempat membuat mekanisme agar para calon berbasis pada sukunya. Ada tata cara kembali ke suku yang diwajibkan bagi para calon tersebut. Dengan demikian, saat menjadi pemimpin, calon tersebut berkomitmen untuk masyarakat dan tidak pada dirinya sendiri.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com