KOMPAS.com — Kelompok Negara Islam Indonesia (NII) memiliki sejumlah kepala negara. Para kepala negara itulah yang berwenang membaiat calon anggota baru.
Seperti yang saya tuturkan sebelumnya (Baca: Beginilah Cara NII Merekrut Saya), seorang anggota NII laki-laki mengajak saya bertemu dengan kepala negara NII yang akan menjelaskan lebih jauh konsep hijrah dan cara bergabung menjadi anggota. Ia meminta saya datang ke sebuah rumah kontrakan di bilangan Lebak Bulus, Jakarta Selatan, tidak jauh dari Pasar Pondok Labu.
Didampingi Dewi, saya kemudian memutuskan untuk mendatangi rumah kontrakan yang dimaksud. Meskipun takut, saya memberanikan diri untuk datang. Saya penasaran ingin melihat sosok kepala negara yang katanya ada di Indonesia, selain Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu.
Esok harinya, saya dan Dewi pergi ke rumah kontrakan tersebut. Teman perempuan Dewi tidak jadi ikut karena ada acara lain. Dewi, yang kesan saya berlaku sok lugu, seolah tidak tahu apa-apa dan seolah-olah sama posisinya dengan saya, menuntun saya ke sana.
Berdasarkan arahan si teman lelakinya, akhirnya kami tiba di sebuah kontrakan. Rumah tersebut tidak terlalu luas. Berupa petakan yang berjajar dan berimpit dengan rumah kontrakan lainnya. Terdapat ruang tamu, dua ruang berupa kamar, kamar mandi, dan dapur di rumah kontrakan itu. Sesampainya di sana, kami diterima oleh si teman lelaki Dewi.
Seperti tamu pada umumnya, kami disuguhi minuman. Namun, saking curiganya, saya enggan meminum atau memakan apa pun yang disuguhkan. Selang beberapa menit, lelaki teman Dewi itu mengajak kami masuk ke sebuah kamar untuk bertemu kepala negara. Namun, saya dan Dewi dipisahkan. "Harus sendiri-sendiri," kata lelaki itu.
Kemudian lelaki itu mengantar saya lebih dulu ke kamar. Sementara Dewi tetap duduk di ruang tamu menunggu giliran diantar ke kamar lain untuk bertemu kepala negara lainnya. Saya dan lelaki itu tiba di sebuah kamar yang juga tidak terlalu luas. Hanya ada sebuah meja, dua buah kursi, dan sebuah kipas angin di sana. Juga ada setumpuk buku dan Al Quran di atas meja.
Karena takut terjadi apa-apa, saya meminta lelaki itu menyerahkan kunci kamar pada saya. Kemudian dikabulkan, kunci kamar saya pegang. Lelaki itu kemudian menjelaskan aturan main bertemu kepala negara. Ia berpesan, saya tidak boleh menoleh ke belakang saat kepala negara mengetuk pintu kamar. Saya harus berdiri saat mendengar pintu diketuk sampai sang kepala negara duduk di hadapan saya. "Baiklah," saya sanggupi.
Mengganti nama
Kemudian lelaki itu mengeluarkan sebuah buku nama-nama Islam. Ia meminta saya memilih sebuah nama. Menurut dia, anggota NII harus berganti nama menjadi nama Islam. Setelah cukup lama mencari nama, akhirnya saya memilih Faizah sebagai nama depan, sedangkan nama belakangnya saya lupa.
Selesai pemilihan nama, lelaki itu mendata identitas saya. Ia menanyakan nama orangtua, silsilah keluarga, penghasilan orangtua, profesi orangtua dan saudara, termasuk profesi paman, bibi, dan lainnya.
Selesai pendataan, kami kembali berbincang sejenak menunggu sang kepala negara tiba. Untuk memastikan kedatangan sang kepala negara, lelaki itu keluar ruangan. Dan tidak lama kembali masuk ruang kamar lalu menyampaikan pada saya bahwa kepala negara telah siap. Kemudian ia keluar ruangan dan menutup pintu.
Saya seorang diri di kamar, menunggu sang kepala negara mengetuk pintu. Tak lama, terdengar suara ketukan pintu. Tanpa menoleh, saya berdiri, menyambut kedatangan sang kepala negara. Kemudian tampak di hadapan saya seorang lelaki muda sekitar 30 tahun mengenakan safari, berdasi, dan memakai peci hitam. Sekilas penampilannya tampak seperti mantan Presiden Soekarno. Lelaki yang berkulit agak gelap dan bermata sayu itu adalah sang kepala negara.
Ia memulai pembicaraan dengan menyakan nama. Ia meminta saya menjawab dengan nama Islam yang telah saya pilih. "Faizah," kata saya yang kemudian dicatatnya di sebuah kertas. Identitas diri saya beserta keluarga ditanyakannya kembali.
Sang kepala negara itu juga bertanya apakah saya memiliki saudara polisi atau tidak. "Tidak," jawab saya.
Sosok kepala negara itu berbeda dengan lelaki yang mengantar saya sebelumnya. Ia terkesan lebih matang, berwibawa, tidak banyak bicara, dan apa yang dikatakannya seolah sulit terbantahkan.
Saat pertemuan dengan kepala negara itu, saya kembali mempertanyakan konsep negara di dalam negara. Ia menjelaskan, mereka (NII) telah membangun negara yang lengkap dengan kepala negara, warga negara, dan wilayah negara. Sumber pendapatan negara, katanya, berasal dari pertanian, kehutanan, perkebunan, dan industri yang dikelola warga negara.
Menurutnya, NII memiliki sekian hektar hutan jati emas, kebun sayuran organik, dan lainnya. Ia juga bercerita sejumlah artis Ibu Kota telah bergabung sebagai warga negara. Kemudian ia menyebutkan salah satu nama penyanyi terkenal. Sampai saat itu, saya masih merasa bahwa konsep negara dalam negara seperti yang disampaikannya tidak masuk akal. "Ini ilegal" kata saya dalam hati.
Saya terus mengajukan pertanyaan demi pertanyaan. Berlangsung tanya jawab selama berjam-jam. Hingga akhirnya sang kepala negara tampak lelah meladeni saya. Ia kemudian menanyakan kesediaan saya untuk bergabung.
Bersambung...
Selanjutnya:
Modus Perekrutan NII (3): NII Menyuruh Saya Mencuri
Sebelumnya:
Modus Perekrutan NII (1): Beginilah Cara NII Merekrut Saya