Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Fobia Ulat Bulu di Republik Hantu

Kompas.com - 19/04/2011, 04:45 WIB

Menghadapi fenomena ledakan populasi ulat bulu, dunia pendidikan telah salah menanamkan perilaku cinta lingkungan kepada anak-anak. Terlebih ketika para guru memerintahkan anak-anak membeli racun serangga dan menyemprotkannya ke kelompok ulat bulu tersebut. Dunia pertanian juga seperti kalang kabut mempermasalahkan ledakan populasi ulat bulu.

Padahal, hujan yang terus turun berkepanjangan selama tahun 2010 lebih merugikan petani daripada ledakan populasi ulat bulu sekarang ini. Sebab, yang lebih banyak diserang ulat bukan tanaman semusim, melainkan tanaman tahunan. Pengetahuan seperti inilah yang seyogianya disampaikan kepada anak-anak sekolah, bukannya menggiring mereka ke arah fobia.

Siklus alam

Tahun 2010, hujan memang turun berkepanjangan tanpa ada kemarau sedikit pun. Dalam kondisi seperti ini, siklus hidup kupu-kupu tidak terputus. Biasanya pada musim kemarau kupu-kupu hanya bertahan di lingkungan yang benar-benar sangat basah.

Tahun lalu, kupu-kupu bisa terus bertahan hidup di semua lingkungan karena hampir tak ada kemarau. Dampak dari kondisi ini, pertumbuhan vegetatif tanaman tak terhenti dan pertumbuhan generatifnya justru terganggu. Akhir 2010 dan awal 2011, tak ada panen raya mangga, durian, rambutan, manggis, dan lain-lain. Para petani buah gigit jari. Kedatangan ulat bulu kali ini sebenarnya justru akan membantu petani buah.

Akhir 1950-an dan awal 1960- an, sehabis panen pupa ulat avokad, biasanya masyarakat juga akan memanen buah avokad dalam volume sangat besar. Sebab, avokad justru akan berbuah lebat setelah semua daunnya habis dimangsa ulat bulu yang menyeramkan itu.

Akan tetapi, kondisi tahun 2011 tentu beda dengan 1960-an. Sekarang Indonesia sangat makmur. Mal berdiri di mana-mana dengan McDonald’s, KFC, Pizza Hut, dan Hokben. Anak-anak pasti merasa sangat jijik apabila tahu bahwa generasi pendahulu mereka pernah mengonsumsi pupa ulat bulu. Bahkan sampai saat ini pun masyarakat di sekitar hutan jati masih menikmati pupa ulat jati yang gurih itu.

Belakangan ini siklus alam secara normal memang terganggu akibat pemanasan global yang disebabkan oleh pembakaran BBM dan batu bara berlebihan. Selain itu, predator alami ulat, terutama spesies kepik, juga ikut terbasmi oleh pestisida pabrikan yang massal. Penangkapan burung untuk tujuan komersial pun memicu peningkatan populasi ulat. Burung prenjak dan ciblek, misalnya. yang selama ini menjadi pemangsa ulat adalah komoditas bernilai tinggi. Di negeri ini, masyarakat tidak sekadar mudah dihinggapi fobia, tetapi juga gampang tergoda hobi yang sadis: mengurung burung seumur hidup tanpa diberi jodoh.

Bukan dagelan

Banyak kalangan yang menyebut perusakan lingkungan, karut-marut politik, dan krisis ekonomi belakangan ini sebagai dagelan. Kalau ada anggota parlemen dalam sidang paripurna sibuk menonton pornografi, itu sebenarnya tragedi, bukan lelucon.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com