Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Maestro Tanggomo yang Kesepian

Kompas.com - 10/03/2011, 09:05 WIB

Oleh Wahiyudin Mamonto

Risno Ahaya, laki-laki tunanetra berusia 51 tahun, adalah salah satu pegambus yang sering membawakan "tanggomo" atau seni tutur yang lebih dikenal dengan pantun khas Gorontalo serta merupakan bagian dari kekayaan budaya daerah tersebut.

Dalam bertanggomo, pria itu selalu mengiringi pantun Gorontalo yang berisi tentang kisah percintaan, kepahlawanan, tragedi, sindiran, nasihat, bahkan lelucon bersama petikan gambus tuanya.

Risno mulai memetik gambus dan menembangkan tanggomo sejak masih berumur 10 tahun. Hal itu ditekuninya secara otodidak. "Saya belajar sendiri, tidak ada yang mengajari," ujar Risno.

Bahkan, gambus yang sering dipetiknya saat hendak menembangkan tanggomo pun adalah buatannya sendiri.

Dirinya sering menceritakan tentang berbagai macam peristiwa yang terjadi di lingkungannya sehari-hari, dan hal itu tidak melalui proses tulis terlebih dahulu, tapi hanya mengandalkan ingatan yang kuat, kemudian langsung digubah dalam syair yang disampaikannya dalam bertanggomo.

Meski di tengah hiruk-pikuk musik jazz, rock n roll, alternatif, dangdut, dan pop, dirinya masih tetap eksis untuk menembangkan tanggomo hingga saat ini.

Berkat bertanggomo, selain mengukir prestasi yang mengagumkan, dirinya juga menjadi salah satu seniman yang namanya cukup melegenda dalam dunia kebudayaan Gorontalo.

Prestasi pertama yang diraihnya adalah pada saat mengikuti festival budaya pada tahun 1982 dan berhasil meraih juara satu. Hal itu tetap dipertahankannya hingga 1984. Saat itu, ia banyak mengenal pegambus lainnya seperti Salim Kude, Marlina Otoluwa, Hadidjah Hamid, Nurjannah Sama’u, yang juga sering mengikuti pergelaran festival budaya ataupun kejuaraan gambus. "Di tahun 1985, saya menikah dan sudah tidak lagi mengikuti festival serupa," kata Risno.

Selanjutnya, di tahun 2001, dirinya sempat mendaftar dalam festival seni gambus yang diadakan oleh salah satu stasiun radio swasta di Gorontalo. Akan tetapi, sayang, dirinya ditolak mentah-mentah oleh panitia pelaksana kegiatan tersebut. Hal itu terjadi karena menurut mereka Risno sudah tidak layak mengikuti kejuaraan di tingkat lokal.

Meski tidak lagi diperkenankan mengikuti kejuaran ataupun festival gambus, dirinya masih tetap hadir dalam berbagai kegiatan penting yang diselenggarakan para pembesar daerah.

Ia sering mendapatkan undangan untuk bertanggomo pada perhelatan acara penyambutan tamu yang berasal dari luar daerah, dan tak jarang juga dia melayani permintaan dari kelompok masyarakat yang akan melaksanakan suatu kegiatan kebudayaan.

Bertahan hidup

Dengan kondisi tubuh yang mulai dimakan usia, Risno dengan rambut panjang memutih yang selalu diurai masih sering menembangkan tanggomo di sejumlah pasar tradisional.

Hal itu dilakoninya dengan alasan tidak ada pekerjaan lain yang dapat dilakoninya, sementara tuntutan kebutuhan rumah tangganya terus memburu menagih tanggung jawabnya sebagai suami serta bapak bagi istri dan empat anak. "Kalau saya tidak memetik gambus lagi maka istri dan anak-anak saya makan apa nanti," katanya.

Sebagai seorang tunanetra, ia pantang menjadi seorang peminta-minta seperti yang sering dijumpai di pusat-pusat perbelanjaan. "Saya malu jika harus jadi peminta-minta di jalanan," kata Risno.

Dalam sehari, penghasilan yang didapatkan dari bertanggomo di pasar-pasar tradisional tidak menentu. Kalau lagi beruntung, ia bisa mengantongi uang Rp 20.000 hingga Rp 21.000, sementara jika sedang apes dia hanya bisa mendapatkan uang sebanyak Rp 15.000 sampai Rp 18.000.

Kadang, penghasilan yang didapatkannya tidak bisa memenuhi kebutuhan makan seluruh anggota keluarganya. Sebab hasil yang didapatkan kebanyakan hanya habis buat ongkos jasa kendaraan, dan jika dalam kondisi demikian maka dirinya terpaksa hanya cukup merasa puas dengan sebungkus rokok tanpa harus makan. "Yang penting istri dan anak-anak saya bisa makan," ujar Risno.

Sementara dalam meladeni undangan para pembesar atau pejabat pemerintah dan kelompok lainnya, dirinya bisa mendapatkan rezeki dalam bentuk uang dengan jumlah yang bervariasi dimulai dari Rp 50.000, Rp 150.000, hingga Rp 250.000, namun juga ada yang tidak membayar sama sekali.

Seumur hidupnya, ia hanya sekali mendapatkan uang dalam jumlah besar, yakni sebanyak Rp 700.000, dari seseorang.

Dalam beberapa waktu terakhir ini, untuk menafkahi keluarga, rasanya ia sudah semakin kesulitan. Sebab, ketika hendak menembangkan tanggomo di pasar tradisional, suaranya tidak sanggup melawan kebisingan kehidupan pusat perbelanjaan itu.

Oleh karena itu, ia bercita-cita untuk segera memiliki perangkat alat pengeras suara yang bisa membantunya dalam menyampaikan syair dan suara gambusnya ke orang-orang di pasar tersebut.

Namun, keinginannya untuk memiliki alat pengeras suara tersebut hanya sebatas angan saja, mengingat kondisi ekonominya yang sangat memprihatinkan.

Saat ini, dirinya hanya bisa meminjam tempat para penjual obat tradisional yang biasa berjualan dengan menggunakan pengeras suara guna menarik para pengunjung.

Tapi, sering kali Risno baru diberi kesempatan untuk menembangkan tanggomo pada saat para pengunjung sudah tidak lagi berkerumun di tempat itu. "Meski begitu, saya sudah cukup bersyukur masih bisa menembangkan beberapa syair," kata Risno.

Namun, kehidupan yang miris tersebut tetap dijalaninya dengan tabah, demi melestarikan budaya lokal yang kini sudah nyaris punah tersebut.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com