Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ogoh-ogoh Mokoh...

Kompas.com - 04/03/2011, 04:15 WIB

Nyoman Branco (11), bersama beberapa temannya di Banjar Kancil, Desa Kerobokan, Kuta, Kabupaten Badung, Bali, Kamis (3/3) siang, beristirahat di salah satu warung kelontong dekat banjarnya. Mereka baru saja menyelesaikan patung ogoh-ogoh dan diikat di bambu-bambu agar bisa diusung Jumat (4/3) sore jelang hari penyepian itu tiba.

Branco, salah satu anak dari ribuan anak dan dewasa se-Pulau Dewata yang dengan suka cita menyiapkan ogoh-ogoh untuk diarak keliling desa sehari menjelang Hari Raya Nyepi, 5 Maret 2011. Mereka pun tak segan menghabiskan ratusan ribu rupiah untuk membuatnya sendiri. Uang yang dikumpulkan berasal dari keikhlasan warga setempat.

Sebagian warga mengaku senang dengan ogoh-ogoh buatan remaja banjarnya. ”Ya, selain karena Nyepi, ogoh-ogoh ini bisa menjadi hiburan warga juga, apalagi ini kreativitas anak-anak muda banjar sini,” kata Kadek Putra (32), warga Kerobokan.

Sejak tahun 1980-an, ogoh-ogoh menjadi tradisi-terutama anak muda-pendamping obor serta kentungan yang diarak keliling desa setiap malam menjelang perayaan Nyepi. Ogoh-ogoh pun jadi simbol kejahatan yang disamakan dengan rupa raksasa.

Ogoh-ogoh merupakan patung berujud buta atau raksasa yang bermuka seram dan marah, mata melotot, gigi tajam, mulut menganga seperti ingin menerkam hingga berambut gondrong. Simbol ini bertujuan agar selama Nyepi, umat tidak diganggu roh-roh jahat, karenanya usai diarak biasanya di bakar.

Wayan Candra (56), ahli pembuat ogoh-ogoh dari Sanggar Seni Gases, Denpasar, mengatakan, peminat ogoh-ogoh terus bertambah setiap tahun. Ia pun menerima pesanan dari umat Hindu di luar negeri. Khusus yang dikirim ke mancanegara, dia membedakan beberapa bahan baku dan harganya.

Harga di pasar lokal berkisar Rp 200.000-Rp 2 juta per unit, dan ekspor minimal Rp 10 juta per unit. Harga ini bergantung pada tema dan tinggi ogoh-ogoh yang dipesan. Semakin rumit dan tinggi, harga pun semakin mahal. Temanya pun mengikuti situasi, seperti ogoh-ogoh Gayus (mafia pajak) atau Upin-Ipin (kartun televisi untuk anak-anak).

Dulu, ogoh-ogoh menggunakan kerangka dari anyaman bambu, dibalut dengan kertas bekas semen lalu dicat warna-warni. Kini, kerangka itu bergeser ke styrofoam untuk memudahkan orang berkreasi. Namun, menurut Candra, pergeseran bahan baku itu karena sejumlah ogoh-ogoh sempat kerasukan roh yang menjadikannya benar-benar hidup. ”Badan ogoh-ogoh kosong karena terbuat dari anyaman sehingga memberi peluang roh datang untuk mengisinya. Kalau memakai styrofoam badannya padat,” katanya.

Karenanya, ogoh-ogoh harus dimantrai dengan baik agar usai diarak dengan baik takkan mengganggu siapa pun. Kini, ogoh-ogoh bukan lagi dibakar tapi justru dijual karena memiliki nilai seni. Peminatnya, seperti perhotelan dan wisatawan.

Pedanda Ida Pedanda Subali Tianyar, mengarak ogoh-ogoh adalah tradisi baru. Bahkan, Pedanda Tianyar menegaskan tak ada hubungannya dengan Nyepi. Bahkan, pada masa lalu, tradisi sehari sebelum Nyepi atau pengrupukan hanya mengarak obor dan upacara Caru kecil di rumah masing-masing dengan mendapatkan tirta (air) suci yang sudah diberi mantra keselamatan saat upacara Tawur Agung. Obor menjadi simbol kejahatan dan selanjutnya dimatikan usai diarak keliling desa.

Nyepi bagi umat Hindu Bali adalah melakukan caturbratha penyepian. Umat harus berpuasa bekerja (amati karya), tidak menyalakan api atau listrik (amati geni), tidak mencari hiburan (amati lelanguan), dan berpuasa bepergian (amati lelungan). Braco pun menaati hari arak-arakan itu tiba bersuka cita mengarak ogoh-ogoh yang cenik (kecil) dan mokoh (besar). (AYS)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com