Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Investasi Bisa di Hutan Rusak

Kompas.com - 02/03/2011, 02:50 WIB

Jakarta, Kompas - Pemerintah berjanji tidak akan mengalihfungsikan hutan primer dan lahan gambut demi kelestarian lingkungan. Walaupun demikian, dunia usaha tetap bisa mengembangkan bisnis berkelanjutan di kawasan hutan produksi yang sudah rusak seluas 35,4 juta hektar.

Demikian disampaikan Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan (Kemhut) Hadi Daryanto di Jakarta, Selasa (1/3). Pemerintah tengah menyiapkan instruksi presiden untuk menjalankan perjanjian penurunan penggundulan dan degradasi hutan dengan Norwegia tahun ini.

”Moratorium saja tidak cukup. Harus dibuka lagi database lahan rusak seluas 35,4 juta hektar. Artinya, investor tinggal melihat lahan yang tersedia ini saja, tidak akan menabrak perjanjian itu,” kata Hadi.

Kemhut telah merilis hasil pendataan kawasan hutan produksi yang rusak dan telantar untuk kepentingan dunia usaha. Kemhut menetapkan area seluas 13,2 juta hektar untuk investasi hak pengusahaan hutan berbasis tebang pilih, 7,4 juta hektar untuk investasi hutan restorasi yang bertujuan memulihkan kondisi kawasan tersebut seperti sedia kala, 9,1 juta hektar untuk investasi hutan tanaman industri, dan 5,5 juta hektar untuk investasi hutan tanaman rakyat.

Hadi meminta kalangan organisasi nonpemerintah tidak mempertentangkan draf instruksi presiden tentang penurunan penggundulan dan degradasi hutan primer versi Kementerian Koordinator Perekonomian dan Satuan Tugas REDD+.

”Secara prinsip, kedua draf ini memiliki substansi yang sama, yakni menghentikan konversi hutan primer dan lahan gambut,” ujar Hadi yang juga anggota Satuan Tugas REDD+.

Sebagai negara berkembang, Indonesia tetap membutuhkan lahan untuk kebutuhan perekonomian. Pertumbuhan penduduk dan tuntutan perekonomian nasional membuat usaha berbasis lahan, seperti hutan tanaman industri dan rakyat, perkebunan tebu dan kelapa sawit, serta pembangunan infrastruktur termasuk panas bumi, tetap ada.

Hadi memaparkan ekspor industri kayu nasional tahun 2010 tercatat 2,76 juta meter kubik senilai 1,5 miliar dollar AS. Jumlah ini naik dibandingkan ekspor tahun 2009 sebanyak 2,72 juta meter kubik senilai 1,3 miliar dollar AS.

Saat ini ada 314 unit industri perkayuan dengan kapasitas terpasang 30,4 juta meter kubik. Kemhut mencatat nilai investasi industri perkayuan tersebut mencapai Rp 23,6 triliun dan menyerap 254.000 pekerja.

Dilema industri

Bisnis pulp dan kertas termasuk primadona sektor kehutanan. Industri pulp dan kertas menghasilkan devisa 5 miliar dollar AS per tahun dan menyerap sedikitnya 7,5 juta pekerja.

Meski demikian, kalangan pengusaha tetap belum nyaman dengan rencana moratorium. Anggota Komite Tetap Industri Hasil Hutan Kamar Dagang dan Industri Indonesia, Transtoto Handadhari, mengatakan, industri pulp menghadapi dilema karena memiliki masa depan kesejahteraan, tetapi mengandung ancaman lingkungan.

”Pemerintah harus membuat koridor kebijakan yang mampu mengembangkan industri secara optimal dengan tetap menjamin lingkungan. Sebagai contoh, Kanada adalah negara kaya berbasis industri hasil hutan, khususnya pulp dan kertas,” ujarnya.

Secara terpisah, Sekretaris Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono meminta pemerintah tetap memerhatikan kepentingan dunia usaha. Menurut Joko, pemerintah agar tidak meneruskan wacana moratorium konversi hutan apabila diwarnai kepentingan pihak asing.

Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia Elfian Effendi meminta pemerintah selektif menerbitkan izin investasi yang memanfaatkan area 35,4 juta hektar itu. Pemerintah harus mampu menciptakan investor-investor baru, terutama dari masyarakat di sekitar kawasan hutan, agar ”kue” kesejahteraan dari penggunaan hutan bisa lebih merata.

”Pemerintah bisa mencanangkan tahun investor masyarakat untuk mengembangkan kewirausahaan baru di sektor kehutanan,” ujar Elfian. (ham)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com