Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

DUNIA ANIMASI, HIDUP-MATI SILIH BERGANTI

Kompas.com - 13/11/2010, 04:17 WIB

Bau pengap menyergap. Sebuah gitar teronggok di ruang sempit berukuran sekitar sembilan meter persegi. Ada pula potongan koran dan sajadah dengan alas karpet kusam. Namun, dari sanalah semangat membuat animasi bermuatan budaya lokal bergelora. dwi bayu radius

Ruang di rumah produksi animasi Kojo Anima itu sebenarnya mushala. Lantaran kepepet, mushala disulap menjadi ruang serbaguna. ”Kalau tidak ada yang shalat, mushala jadi studio buat merekam suara tokoh animasi,” tutur Andriansyah, pendiri Kojo Anima.

Suasana di ruang produksi rumah sederhana, Jalan Terusan Tubagus Ismail Indah, Bandung, tersebut, pun tidak jauh berbeda. Tembok kusam terlihat dengan cat terkelupas. Tidak ada perlengkapan yang mutakhir. Hanya tampak tujuh komputer untuk membuat animasi.

Meski demikian, sudah lebih dari 150 episode film animasi sudah dihasilkan dari situ. Kojo Anima selalu membuat film yang mengandung budaya lokal. Film seri Kuci, misalnya, mengisahkan tentang kumbang cilik yang memiliki teman-teman dari berbagai daerah di Indonesia.

”Ada Tagor, lalat beraksen Medan. Lalu, Ijo, walang sangit dengan logat Jawa yang kental karena berasal dari Sidoarjo,” tutur Andriansyah. Film tetap dibuat meski belum tentu ada stasiun televisi yang memesan. Tidak heran, biaya produksi sebenarnya tidak bisa ditutupi dari pemasukan.

”Saya saja masih membiayai Kojo Anima dari usaha saya yang lain. Di Jakarta, saya menjalankan pabrik kaleng dan bisnis konstruksi,” tutur Andriansyah. Setiap episode dengan durasi 30 menit bisa dibuat dalam waktu sekitar tiga bulan dengan biaya Rp 30 juta-Rp 50 juta.

Maka, sejumlah perusahaan animasi pun gulung tikar. Andriansyah tidak mengetahui jumlah perusahaan animasi yang tutup. ”Di Bandung, misalnya, Red Rocket, sudah tidak ada. Lalu, Progress juga sudah berhenti membuat animasi. Bisnis animasi hidup-mati silih berganti,” katanya.

Stasiun televisi kurang berminat menayangkan animasi lokal. Order tidak ada, perusahaan pun mati. Dukungan pemerintah pun belum memadai. ”Beda sekali dengan Pemerintah Malaysia yang mendorong industri animasi,” kata Andriansyah.

Dukungan antara lain berupa dana, teknologi, dan promosi. Hasilnya, Upin dan Ipin begitu digemari di Indonesia. Film seri itu bahkan berhasil menembus Disney Channel dan bersanding dengan animasi dunia, seperti Donald Duck dan Lilo & Stitch.

”Padahal, saya yakin, pekerja animasi di Bandung sangat kreatif, tidak kalah dengan Malaysia atau China dari sisi kemampuan. Sayang memang,” kata Andriansyah.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com