Ruang di rumah produksi animasi Kojo Anima itu sebenarnya mushala. Lantaran kepepet, mushala disulap menjadi ruang serbaguna. ”Kalau tidak ada yang shalat, mushala jadi studio buat merekam suara tokoh animasi,” tutur Andriansyah, pendiri Kojo Anima.
Suasana di ruang produksi rumah sederhana, Jalan Terusan Tubagus Ismail Indah, Bandung, tersebut, pun tidak jauh berbeda. Tembok kusam terlihat dengan cat terkelupas. Tidak ada perlengkapan yang mutakhir. Hanya tampak tujuh komputer untuk membuat animasi.
Meski demikian, sudah lebih dari 150 episode film animasi sudah dihasilkan dari situ. Kojo Anima selalu membuat film yang mengandung budaya lokal. Film seri
”Ada
”Saya saja masih membiayai Kojo Anima dari usaha saya yang lain. Di Jakarta, saya menjalankan pabrik kaleng dan bisnis konstruksi,” tutur Andriansyah. Setiap episode dengan durasi 30 menit bisa dibuat dalam waktu sekitar tiga bulan dengan biaya Rp 30 juta-Rp 50 juta.
Maka, sejumlah perusahaan animasi pun gulung tikar. Andriansyah tidak mengetahui jumlah perusahaan animasi yang tutup. ”Di Bandung, misalnya, Red Rocket, sudah tidak ada. Lalu, Progress juga sudah berhenti membuat animasi. Bisnis animasi hidup-mati silih berganti,” katanya.
Stasiun televisi kurang berminat menayangkan animasi lokal. Order tidak ada, perusahaan pun mati. Dukungan pemerintah pun belum memadai. ”Beda sekali dengan Pemerintah Malaysia yang mendorong industri animasi,” kata Andriansyah.
Dukungan antara lain berupa dana, teknologi, dan promosi. Hasilnya,
”Padahal, saya yakin, pekerja animasi di Bandung sangat kreatif, tidak kalah dengan Malaysia atau China dari sisi kemampuan. Sayang memang,” kata Andriansyah.
Direktur Tunas Indonesia Kreatif Ferie Budiansyah yang sudah menghasilkan sejumlah film animasi pendek mengungkapkan, sejumlah usaha animasi di Bandung berguguran. Pemicunya bukan karena pelaku industri tidak mampu berkembang.
”Hanya, stasiun televisi tidak memberi kesempatan. Sangat beda dengan Malaysia yang memberlakukan peraturan untuk televisinya,” katanya.
Televisi di Malaysia wajib menayangkan film animasi lokal. Menurut Ferie, pelaku animasi di Bandung sudah menghasilkan sangat banyak film. Namun, belum tentu film bisa disiarkan. Produk mereka ditodong untuk mampu bersaing dengan film-film asing yang sudah tayang berkali-kali.
Kemungkinannya, usaha tidak dapat sponsor, film dibeli murah, atau dianggap tidak menarik. Jika ingin seperti Malaysia, tidak perlu porsi tayang berlebihan. ”Setiap televisi menayangkan film animasi dua jam saja per minggu. Animasi akan berkembang karena ada kebutuhan,” ujarnya.
Vice President Public and Marketing Communication Telkom Eddy Kurnia mengakui, pamor industri animasi di Indonesia saat ini memang sedang turun. ”Tidak seperti tahun 2008 atau 2009. Waktu itu banyak kegiatan animasi, seperti festival, lomba, dan produksi film,” ujarnya.
Eddy mengatakan, animasi termasuk industri kreatif dan Bandung adalah kantongnya. Telkom berupaya mendorong kemajuan industri kreatif dengan program Indonesia Digital Community (Indigo) sejak 2008. Bentuk program ialah dukungan terhadap komunitas industri kreatif.
”Selama sesuai portofolionya, Telkom bisa mendukung dunia animasi melalui pengembangan. Bentuknya bisa berupa tanggung jawab sosial,” kata Eddy.