Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ngabungbang di Palabuhanratu

Kompas.com - 06/11/2010, 15:01 WIB

Ketika malam menjelang, Dadang Sudjono dan Edy Rochendi, dua sesepuh setempat, dan tujuh orang lainnya dari Jakarta memasuki kamar 308, yang dipercaya sebagai tempat Nyai Roro Kidul, Ratu Pantai Selatan, bersemayam. Aroma dupa segera tercium ketika mereka berada di dalam. Sembilan orang itu duduk melingkar sambil membaca doa untuk meminta restu dari Sang Ratu demi kelancaran tradisi tersebut.

Mereka tidak datang dengan tangan hampa. Di hadapan mereka, puluhan sesajen telah dipersiapkan, bahkan sampai ke luar kamar, dari nasi tumpeng dengan lauknya, buah-buahan, dan rujak. "Sesajen itu terserah mau diapakan, tergantung yang membawa. Ada yang dimakan, ada juga yang dilarung (dihanyutkan). Kebanyakan sesajen dihanyutkan ke tengah laut. Makanan yang telah dihanyutkan tersebut pada pagi, apabila ritual tersebut selesai, akan diambil dan dimakan masyarakat yang ada di sana," ujar seorang warga yang selalu ikut menyaksikan ritual tersebut setiap tahun.

Hampir satu jam mereka di dalam, sementara pengunjung lainnya duduk rapi di aula Teratai yang masih menjadi bagian dari Inna Samudera Beach Hotel. "Setelah ini doa dilanjutkan di Teratai," kata Dedem yang membimbing kami menuju tempat yang dimaksud.

Bukan hanya doa yang digelar di tempat itu sampai dengan tengah malam. Setiap tahun ritual ngabungbang memiliki detail acara yang berbeda. Namun, yang harus selalu ada adalah tarian Sapta Domas. Ketika bulan nyaris berada di puncaknya, tujuh penari yang memakai pakaian berwarna hijau berjalan ke hadapan ratusan pengunjung. Mereka mewakili tujuh sifat jelek yang akan dihilangkan pada malam itu. Alat musik dimainkan dan tujuh penari itu pun mulai menggerakkan tubuh.

Tujuh penari itu, bersama dengan para sesepuh, menggiring pengunjung menuju muara Cisukawayana yang berjarak sekitar 300 meter dari tempat acara. Konon, di muara itu pula dulu Prabu Siliwangi bersama dengan pengawalnya menjalani tradisi ini dengan berjalan kaki dari Bogor.

Pengunjung telah berganti pakaian. Sebagian besar mengenakan kain putih yang dibalutkan ke tubuh layaknya pakaian ihram ketika umat Islam menunaikan ibadah haji.

Tepat ketika bulan berada di atas kepala, mereka menceburkan diri beramai-ramai ke muara. Itulah puncak acara yang digelar sejak malam menjelang. Mereka membenamkan diri sebanyak tujuh kali ke dalam air yang konon untuk melepaskan tujuh sifat jahat manusia, yaitu sirik, pidik, jail, kaniaya, ujub, ria, dan takabur, sekaligus membuka diri untuk sifat-sifat baik.

Menguji kebatinan

Ngabungbang juga dipercaya untuk menguji ilmu kebatinan sekaligus meningkatkannya. Suku Baduy Luar Cisungsang pimpinan Abah Usep, yang letaknya tidak jauh dari Palabuhanratu, memiliki ritual ngabungbang yang berbeda. "Kami melakukan ngabungbang 12 kali dalam setahun, tanggal 14 setiap bulannya. Tapi, itu tidak boleh dilihat orang. Setelah mandi, ilmu yang ditekuni dites sendiri dalam kegelapan malam," ujar Abah Usep yang ditemui di Kampung Cisungsang sebelum penyelenggaraan ngabungbang di Palabuhanratu.

Tidak semua pengunjung yang menyaksikan ritual ngabungbang mengerti tentang hal itu. Mereka sebatas hanya ingin tahu bagaimana proses ngabungbang. Sepertiga jam menjelang tengah malam, puluhan pengunjung Samudera Beach Hotel bersiap-siap menuju muara Cisukawayana.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com