Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Dewi Sri" Berselimutkan Abu Merapi

Kompas.com - 04/11/2010, 08:45 WIB

KOMPAS.com — Paras elok kecantikan ”Dewi Sri” berubah. Kulitnya yang semula berwarna coklat kekuning-kuningan kini berganti menjadi hitam keabu-abuan. Namun, hatinya yang tulus memberikan kemakmuran bagi petani tetap berwarna putih, tersembunyi di balik kulitnya yang berselimutkan abu vulkanik Gunung Merapi.

Dengan sabar, dengan bantuan angin, perempuan-perempuan Dukuh Windusari, Desa Kalibening, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, berulang kali nyilir atau membersihkan abu dan sisa-sisa jerami yang melekat di gabah pengejawantahan Dewi Sri sebagaimana dalam legenda Jawa.

Panti (32), misalnya, sudah empat kali membersihkan sekarung (sekitar 50 kilogram) gabah dari abu vulkanik Merapi sembari mengenakan masker berwarna hijau muda. Kalau tidak terkena abu, gabah cukup dibersihkan dua kali. ”Sayang kalau tidak dipanen. Kalaupun tidak laku dijual, toh bisa untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Gabah tinggal dikeringkan, diselep, dan setelah jadi padi dicuci hingga bersih sebelum dimasak,” kata Panti, Rabu (3/11/2010).

Panti memastikan, kalaupun gabah itu bisa dijual, harganya hanya Rp 1.500–Rp 2.000 per kilogram. Padahal, kalau gabah itu tidak terkena abu vulkanik Merapi, harganya bisa mencapai Rp 3.000 per kilogram.

Ketika kali pertama Gunung Merapi meletus, Desa Kalibening yang berjarak sekitar 10 kilometer dari puncak Merapi terselimuti abu. Tak hanya permukiman dan jalan, abu Merapi melekat pula pada tanaman padi dan hortikultura.

Berdasarkan data Kecamatan Dukun, tanaman padi dan hortikultura yang mati akibat abu vulkanik Merapi seluas 12 hektar, sedangkan puluhan hektar yang lain terancam mati. Kondisi itu menyebabkan petani padi merugi sekitar Rp 3 juta per hektar, sedangkan petani hortikultura Rp 30 juta per hektar.

Sama halnya dengan gabah, harga panenan hortikultura itu pun turun. Misalnya, cabai hijau harganya turun dari Rp 15.000 per kilogram menjadi Rp 2.000 per kilogram, sedangkan cabai keriting Rp 15.000 per kilogram menjadi Rp 10.000 per kilogram.

Untuk mengurangi nilai kerugian, petani berupaya menyelamatkan atau memanen gabah dan hortikultura, seperti cabai, terung, dan sayuran. Hampir di sejumlah titik di Dukuh Windusari, sejumlah petani hortikultura berupaya membersihkan hasil panenan dengan menyemprotnya menggunakan air bersih.

Hal itu tidak mengherankan lantaran padi dan tanaman hortikultura merupakan tumpuan hidup warga. Dalam kacamata mereka sebagai masyarakat agraris, tumbuh kepercayaan tentang Dewi Sri yang merupakan simbol kemakmuran.

Kematian Dewi Sri akibat menolak keinginan Batara Guru, dan dinikahi Kala Gumarang, raksasa simbol hawa nafsu dan berbagai macam hama penyakit tanaman, justru memberikan kesuburan. Hal ini juga menjadi keyakinan petani.

”Letusan Merapi memang merugikan petani, tetapi nanti akan menyuburkan tanah di daerah-daerah lereng dan kaki Merapi,” kata tokoh petani hortikultura Desa Kalibening, Supono (41).

Menurut Supono, petani memang pasrah dengan peristiwa letusan Gunung Merapi yang mematikan tanamannya. Namun, mereka dalam hati berteriak dan bingung cara mengembalikan modal yang didapat dari utang kepada pembeli sayur atau bank.

”Kami berharap pemerintah memberikan bantuan modal setelah bencana letusan Merapi lewat. Bantuan modal itu bisa berupa tanpa bunga atau dengan bunga yang nilainya terjangkau petani,” kata dia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com