Kuda lumping itu beraksi di halaman Sana Budaya, sebuah pusat kegiatan milik paguyuban mengenang imigrasi Jawa atau Vereniging Herdenking Javaanse Immigratie (VHJI). Saat itu tengah berlangsung Indofair 2010, semacam pekan promosi dagang, budaya, dan pariwisata yang juga diikuti delegasi Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Ikut berpartisipasi pula Kedutaan Besar Indonesia di Suriname.
Penonton jaran kepang sore itu adalah warga Suriname dari beragam latar etnis. Beberapa pemainnya bahkan mencerminkan kemultietnisan Suriname. ”Pemainnya ada yang keturunan Jawa-Kreol dan Jawa-Hindustan,” kata Poidjojo.
Saat ini, setidaknya ada enam kelompok jaran kepang di Suriname. Menurut Poidjojo, dulu hampir setiap desa di
Koewarasan mempunyai kelompok jaran kepang. Resort Koewarasan memang banyak dihuni warga Suriname keturunan Jawa yang nenek moyangnya dulu bekerja di perkebunan.
”Sekarang orangnya (pemain) sudah tua-tua, banyak yang telah meninggal,” kata Poidjojo.
Sejumlah penabuh gamelan malam itu memang sudah sepuh-sepuh. Pemain kendang, Tukimin, berusia 79 tahun dan pemain kethuk, Suki, berusia 74 tahun. Akan tetapi, tampak pula pemain muda usia belasan tahun. Bahkan, tampak beberapa pemain belia seperti Jecko Diran (9). Adapun pemain jaran kepang rata-rata berusia belasan tahun.
Begitulah kuda lumping telah terintegrasi sebagai bagian dari budaya Suriname. Sebagai catatan, kuda lumping dan reog juga hidup di Negara Bagian Johor, Malaysia. Betapa mereka dengan setia merawat sang kuda lumping dan menjadikannya sebagai bagian dari budaya negeri benua Amerika itu. Migrasi budaya semacam itu merupakan fenomena
yang mengingatkan pada barongsai atau juga jazz yang dinikmati orang berbagai belahan dunia termasuk di Indonesia.