Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Nyawa Keluarga Kecil Itu Terenggut

Kompas.com - 03/10/2010, 09:11 WIB

KOMPAS.com Hampir tiap akhir pekan almarhum Sersan Kepala Yohanes Dian Bayu Sakti (33) menggunakan layanan kereta api. Ia meyakini, moda transportasi itu aman, nyaman, dan murah. Siapa sangka justru moda transportasi itu yang merenggut nyawa Bayu berikut istri dan anaknya, Sabtu (2/10/2010) dini hari.

Bayu beserta istrinya, Yeni Septati (30), dan anak mereka, Sebastian (4), merupakan bagian dari 36 korban tewas akibat tabrakan antara KA Senja Utama dan KA Argo Bromo Anggrek, tak jauh dari Stasiun Petarukan, Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah, Sabtu pukul 02.45.

Bayu yang bertugas di Kesehatan Kodam IV/Diponegoro, Semarang, tinggal di rumah mertuanya di Desa Keji, Kecamatan Ungaran Barat, Kabupaten Semarang. Adapun anaknya dan sang istri yang enam bulan terakhir bekerja di salah satu produsen obat di Jakarta tinggal di Cibinong, Bogor, bersama orangtua Bayu.

Setiap akhir pekan, Bayu ke Jakarta untuk menjumpai istri dan anaknya. Biasanya ia berangkat pada Jumat sore sehabis berdinas dan kembali ke Semarang hari Sabtu atau Minggu. Namun, kali ini Bayu sedikit berbeda. Ia memilih berangkat ke Jakarta pada Kamis sore.

Menurut Dwi Pramono (36) yang merupakan kakak Yeni, kalau ke Jakarta, Bayu biasa naik bus dan kereta api. ”Tetapi, lebih banyak naik kereta api. Almarhum menganggap kereta api itu aman, nyaman, dan murah,” katanya.

Menurut Dwi, Jumat sekitar pukul 23.00, Sebastian berbicara kepada sang kakek, Antonius Jumadi (66), melalui telepon seluler ibunya. ”Bilangnya, ’Eyang, ini sedang naik kereta api,’” kata Dwi. Sang kakek tak menyadari jika cucu, anak, dan menantunya dalam perjalanan menuju Semarang menggunakan KA Senja Utama. ”Sepertinya mereka mau memberi kejutan kepada bapak dan ibu,” kata Dwi.

Sabtu pagi ayahnya didatangi sejawat Bayu di Makesdam Kodam IV Diponegoro. Petugas itu menyampaikan berita bahwa anak dan menantunya meninggal dunia. Sang ibu, Agatha Ganjar (62), sangat terkejut. Saat ditemui di ruang keluarga, Agatha hanya bisa tergolek lemas. Namun, dia masih bisa mengucapkan terima kasih kepada pelayat yang datang. ”Keluarga terpukul, tetapi kami ikhlas menghadapi cobaan ini,” kata Dwi mewakili keluarga.

Selain Bayu dan keluarga, menurut Komandan Kodim 0711 Pemalang Letnan Kolonel Infanteri Bambang Siswanto, ada sembilan anggota TNI lain yang menjadi korban. Dua di antaranya juga meninggal dunia, yaitu Kolonel Yulianto dan Prajurit Kepala Heri Pramono.

Sementara itu, Di RSUD dr M Ashari, RS Santa Maria, dan RSI Al Ikhlas Pemalang, para tenaga medis terlihat sibuk menangani para korban. Duka dan air mata menyelimuti keluarga korban. Tidak sedikit keluarga korban mondar-mandir dan kebingungan saat memastikan kondisi keluarga mereka.

Haryo Utomo (57), warga Sragi, Kabupaten Pekalongan, tampak berkumpul bersama para kerabat di depan ruang jenazah RSUD dr M Ashari. Ia menunggu kepastian kondisi adiknya, Heru Wijatmiko (41).

Setiap dua pekan, Miko (panggilan Heru Wijatmiko) mengunjungi istrinya, Listyowati, dan empat anaknya di Kelurahan Bendan, Kota Pekalongan. Miko bekerja di PT Total Bangun Persada Jakarta.

Haryo meyakini adiknya ikut meninggal dunia setelah mencocokkan ciri fisik dan pakaian yang dikenakan korban dengan informasi yang ada di RSUD. Meski demikian, hingga sore hari nama Miko belum teridentifikasi sebagai korban tewas. Ia mengaku mengetahui kecelakaan dari televisi. Karena tahu adiknya naik kereta itu, ia dan keluarga berinisiatif untuk mengecek ke rumah sakit.

Kesedihan mendalam juga dirasakan Munir Harsanto (53) dan Ramini (43), orangtua Andreas Rudy Kristanto (25), warga Desa Karanglo, Kecamatan Bringin, Kabupaten Semarang.

Munir tidak menyangka kalau anaknya menjadi korban dalam kecelakaan itu karena anaknya tidak memberi tahu kalau hendak pulang. Sejak tiga tahun lalu, anak pertama dari dua bersaudara itu bekerja di PT Guna Elektro, Jakarta.

Biasanya setiap akan pulang menengok orangtua, anaknya memberi kabar. ”Dua hari lalu ibunya ngebel (telepon), belum ada rencana pulang,” katanya.

Munir mengetahui anaknya pulang ke Semarang naik KA Senja Utama dari teman kerja korban, Ponco.

Tak hanya keluarga korban meninggal dunia yang berduka. Isak tangis juga mewarnai keluarga korban yang terluka. Keinginan Suharman (39) dan anaknya, Adinda Adita Pramesti (9), bersilaturahim ke rumah kakak Suharman, Suhardiman (41), di Semarang ternyata memberi jalan cerita lain.

Suharman yang saat itu berada di gerbong paling belakang (gerbong 9) terpental saat kereta api yang ditumpanginya tertabrak KA Argo Bromo Anggrek. Suharman mengalami patah kaki kiri, pinggul, dan jari kaki kanan. Sementara itu, Adinda atau Dinda patah kaki kanan dan kiri serta tangan kanan. ”Lebaran kemarin dia tidak bisa pulang, makanya sekarang dia berencana ke tempat saya,” kata Suhardiman.

Adapun orang ua dan kerabat Fikri Yadika Khoir (18), mahasiswa asal Kota Bekasi, Jawa Barat, yang juga tewas dalam kecelakaan, Sabtu pagi langsung berangkat ke Pemalang untuk menjemput jenazah korban.

Kisah-kisah memilukan datang dari para korban dan keluarganya. Mereka percaya kereta api merupakan moda transportasi yang paling aman. Ternyata, kepercayaan mereka terus diuji. (GAL/WIE/COK/ILO)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com