Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kearifan Kasepuhan Cipta Mulya

Kompas.com - 30/06/2010, 18:47 WIB

Sebagai kawasan yang berada di lingkup budaya agraris, mata pencarian utama warga Cipta Mulya adalah bertani di sawah dan ladang (ngahuma). Aktivitas pertanian mereka sarat dengan adat istiadat warisan leluhur yang berorientasi pada mitologi Dewi Sri. Terdapat beberapa pantangan, upacara adat, dan kepercayaan karuhun yang begitu kental mewarnai pola kegiatan bertani mereka.

Secara arif warga kasepuhan mengelola sistem perladangan dengan mengacu pada adat ritual sebagai ungkapan rasa hormat, kontrol sosial, norma, dan tata kelola distribusi hasil padi yang tidak ditemukan dalam sistem pertanian modern. Hasil panen padi dikumpulkan dalam leuit jimat, lumbung komunitas yang menjadi simbol kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat setempat. Guna mengantisipasi kegagalan panen tahun berikutnya, lumbung ini menjadi tempat persediaan makanan yang dapat menghidupi warga kasepuhan selama lebih kurang dua tahun.

Seren taun

Berkaitan dengan aktivitasnya dalam bertani, masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya rutin menggelar upacara adat seren taun. Barangkali, bagi kita kebanyakan yang mengklaim "orang-orang modern", seren taun hanyalah seremoni atau ritual syukuran setelah musim panen di ladang-ladang tradisional. Namun, tidak demikian adanya. Ritual ini memiliki dan menampilkan arti berbeda.

Seren taun mengandung makna syukur atas hasil panen dan refleksi untuk menyambut tahun baru, yang secara etimologi dapat ditelusuri dari kata seren (serah) dan taun (tahun/waktu). Seren taun juga berarti penyerahan total kepada Yang Maha Kuasa, sebuah penyerahan hasil kerja selama setahun dan sekaligus penyerahan tahun yang akan datang ke dalam penyelenggaraan Illahi. Selama ratusan tahun masyarakat Sunda umumnya dan warga kasepuhan khususnya menggantungkan hidup pada pertanian, terutama padi.

Dalam konteks kosmologi kehidupan manusia sebagai makhluk sosial yang erat dengan alam dan keberadaannya sebagai makhluk-Nya, warga Cipta Mulya berpegang teguh pada ujar-ujar karuhun. Putra bungsu Abah Uum, yakni Iwan Suwandri, mengungkapkan beberapa filosofi yang menjiwai relung batin masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya, di antaranya nyanghulu ka hukum, nunjang ka nagara, mupakat jeung nu rea. Hal itu diyakini dapat mewujudkan keadaan yang aman tenteram, sepi maling towong rampog.

Nilai-nilai yang masih dipelihara warga kasepuhan bermuara pada konsep keterpaduan kehidupan raga dan jiwa. Filosofi tiga sapamulu adalah gambaran adanya kesenyawaan antara tekad, ucap, dan lampah. Nyawa dan raga tanpa papakean sama dengan telanjang. Raga dan papakean tanpa nyawa berarti maot atau mayit. Nyawa dan papakean tanpa raga, itulah makhluk gaib. Sementara nu hiji eta-eta keneh, yakni keharmonisan antara nyawa, raga, dan papakean, bermakna kemanusiaan.

Di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern yang sarat dengan manipulasi, konsumerisme, korupsi, serta pola pikir dan tindakan yang hanya berorientasi pada keuntungan dan kekuasaan sesaat, ada baiknya "orang-orang modern" mengambil hikmah dari kearifan warga Kasepuhan Cipta Mulya. Kearifan semacam itu, yang sebenarnya merupakan kekayaan rohani kita, sangat penting untuk direnungkan kembali.

RAMELI AGAM Bergiat di Komunitas Celah Celah Langit, Kota Bandung

 

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com