JAKARTA, KOMPAS.com - Tan Bie Gian (62) kenal Kompas sejak Kompas terbit perdana 28 Juni 1965. Awalnya, anak tunggal pasangan mendiang Tan Gwat Liang-Liem Han Nio ini terbiasa membaca Sinpo, koran yang dilanggani ayahnya.
Putusan memilih Kompas didasari pendiri Kompas yang eks pengelola majalah Star Weekly yang sudah diakui bobotnya. ”Sejak awal, sebelum terbit sudah dikasih tahu. Kabarnya ada koran baru yang kelihatannya bagus, pengelolanya eks Star Weekly,” kenang Bie Gian.
Sejak saat itu ia pun menjadi pelanggan setia Kompas. Mulai sekadar membaca Kompas yang terbit ala kadarnya sampai saat ini ketika Kompas sudah tampil sedemikian rupa seperti sekarang. ”Apalagi ulang tahun saya 27 Juni, berdempetan dengan ulang tahun Kompas. Jadi susah lupa,” kata Bie Gian yang sejak 15 tahun terakhir aktif melukis.
Selama 45 tahun, Kompas menemani perjalanan hidup Bie Gian. Karena itu, Bie Gian pun hafal dengan ”masa-masa susah” Kompas. Misalnya, ketika kerusuhan 1965 pecah, Kompas mesti cetak dengan fasilitas seadanya. ”Kertasnya pernah pakai kertas kuning dan biru,” kenang Bie Gian. ”Kalau kertasnya biru, itu paling susah dibaca.”
Bie Gian pun bisa menyandingkan perjalanan hidupnya dengan materi yang termuat di Kompas. Misalnya, masa ketika Bie Gian menemani ibunya yang sakit sampai kemudian meninggal pada 1985. ”Waktu itu, ibu saya membaca cerita Srintil (dalam cerita bersambung Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari),” kata Bie Gian.
Bie Gian menyadari, bagi sebagian kalangan, Kompas mungkin dianggap ”berat”. Hanya kalangan tertentu saja yang bisa memahami Kompas. Namun, tidak susah membuat Bie Gian ”mencandu” Kompas. Terbawa kebiasaan orangtua, sejak kecil Bie Gian pun terbiasa membaca koran serta buku dan bacaan berbobot lainnya.
”Tanpa disuruh, sudah baca dengan sendirinya,” katanya. ”Bagi keluarga kami (waktu itu) yang terbiasa membaca Sinpo, membaca Kompas itu seperti tidak ada peralihan, tidak ada kesulitan,” kata Bie Gian. ”Pas buat kami. Ibarat makanan, ini menu sehari-hari.”
Kebiasaan membaca Kompas itu terbawa kepada istri dan ketiga anak yang beranjak remaja itu pun terbiasa membaca Kompas. Tidak melulu Kompas Muda atau Kompas Anak yang ditujukan buat anak seusia mereka, ketiga anak Bie Gian akrab dengan rubrik umum lainnya di Kompas. ”Tidak mesti anak kecil hanya baca Kompas Muda atau Kompas Anak. Anak-anak saya sudah baca yang umum, dari depan,” kata Bie Gian.
Bie Gian mengakui Kompas konsisten menjaga keseimbangan. Substansi lebih dikedepankan ketimbang sensasi. Sikap kritis, meski ala Kompas, tetap terlihat dalam banyak kejadian, semisal saat kerusuhan 1998. Kompas tetap bisa jadi acuan, dengan gayanya sendiri mengungkapkan fakta, berani menyampaikan hal tersembunyi di saat sebagian menganggap itu tidak ada dan lebih baik ditutup saja.