Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sarbai dan Kampung Budaya

Kompas.com - 09/06/2010, 11:49 WIB

Tak ada gedung

Proses belajar-mengajar kesenian tradisional di Barikin bukan seperti sekolah formal. Di kampung itu tak ada gedung atau tempat khusus untuk belajar. ”Kalau mau belajar wayang kulit, orang tinggal tajak sarubung (dirikan tenda), lalu buat panggung di belakang rumah. Pelajaran dianggap selesai kalau sudah disaru (diundang) orang untuk pentas,” ungkapnya.

Adapun untuk belajar tari-tarian, pekarangan samping rumahlah tempatnya. Mereka yang belajar wayang gung meminjam kantor pembakal (kepala desa). Selain melatih kesenian tradisional untuk kaum muda, Syarbaini juga membuat kreasi baru tari-tarian daerah.

”Untuk itu (tari kreasi baru) saya riset ke kampung-kampung Dayak di Pegunungan Meratus atau Maanyan (Kalimantan Tengah). Saya rekam musiknya dan menghafal gerakan tari dan prosesi ritual mereka,” ceritanya.

Maka, saat ia diminta membuat tarian kolosal yang melibatkan sekitar 250 pelajar untuk Hari Pendidikan Nasional di Kantor Gubernur Kalsel tahun 1985, muncullah perpaduan gerak dinamis tari Dayak Maanyan dan Meratus dalam tari tandik balian.

Saat menjadi pegawai Seksi Kesenian Kantor Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Hulu Sungai Tengah pada 1981, Syarbaini membawa kabupaten itu menjuarai festival tari tingkat Provinsi Kalsel.

Tari yang dilombakan adalah tariyan tantayungan (lolongan anjing), tradisi berburu Dayak Meratus, tapi dimainkan dalam versi tarian melayu. Musik panting Tahun 1981-1983, ia menjadi pelatih seni dan musik tradisional Taman Budaya Kalsel di Banjarmasin. Dia memperkenalkan kesenian tradisional baru yang dinamakan musik panting.

Seni musik itu pertama kali dimainkan saat resepsi pernikahannya, 15 November 1977. Sekitar enam tahun kemudian, musik panting berkembang di seluruh kabupaten di Kalsel. Seni musik itu berasal dari kesenian japin, tetapi tidak menyuguhkan tarian, hanya mengiringi lantunan lagu-lagu Banjar berlirik nasihat dengan dominasi tiga panting, semacam alat musik petik khas melayu.

Tak hanya itu, sejumlah alat musik panting dan perangkat gamelan Banjar pun dia buat sendiri. Walaupun perhatian pemerintah Hulu Sungai Tengah terhadap kesenian tradisional relatif minim, Syarbaini tetap bersyukur.

Kepeduliannya dalam mempertahankan dan mengembangkan berbagai kesenian tradisional mendapat perhatian beberapa kabupaten di Kalsel, bahkan juga Kalteng dan Kaltim. ”Kami beberapa kali tampil di Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta, karena diundang. Undangan itu, misalnya, dari Kabupaten Tabalong atau Kotabaru (Kalsel),” katanya.

Bahkan, di Kalteng, seperti daerah Tamiyang Layang, Buntok, dan Ampah, Syarbaini juga kerap diminta mengajar beberapa kelompok kesenian setempat. ”Dulu, saya sempat menjaminkan sepeda motor untuk mendapatkan uang guna menghidupi sanggar seni ini. Meski kondisinya seperti itu, saya tetap berusaha menjaga seni tradisional kampung ini (Barikin). Inilah pesan dari leluhur kami,” ujar Syarbaini.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com