Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sarbai dan Kampung Budaya

Kompas.com - 09/06/2010, 11:49 WIB

Oleh M Syaifullah dan Defri Werdiono

KOMPAS.com- Sarbai atau Syarbaini, panggilan Abdul Wahab Syarbaini, dikenal sebagai seniman tradisional Banjar yang serba bisa. Uniknya, dengan kepandaian itu, ia memilih menghidupkan Desa Barikin, Kecamatan Haruyan, Kabupaten Hulu Sungai Tengah. Tanah kelahirannya itu dijadikan kampung budaya Banjar.

Desa Barikin terletak sekitar 135 kilometer utara Kota Banjarmasin, ibu kota Kalimantan Selatan. Kampung itu sebelumnya dikenal sebagai tempat persinggahan para bangsawan Kerajaan Dipa pada abad ke-14.

Kini, Barikin menjadi kampung seniman tradisional Banjar. Aspek budaya terasa kental di kampung Barikin lewat keberadaan sanggar seni tradisional Ading Bestari, yang dipimpin Sarbai.

Di sini, kesenian tradisional Banjar yang semakin jarang dimainkan dan hampir punah, seperti wayang kulit Banjar, wayang gung (gong) atau wayang orang, tari topeng, kuda gepang, seni tari dan musik bajapin, dan musik panting, dipertunjukkan.

Upaya pelestarian seni tradisional Banjar itu melibatkan nyaris semua warga kampung. ”Saya memegang pesan leluhur agar melestarikan kesenian yang hidup di kampung ini. Sebab, dengan kesenian itu, hubungan keluarga semakin erat,” katanya.

Ading Bastari membawahi beberapa grup kesenian. Untuk warga yang menyukai wayang kulit, misalnya, tergabung dalam Panji Sukma. Mereka yang suka tari topeng di grup Panji Sumirang, anggota wayang gung di Antaboga, dan R Brantasena untuk pemain kuda gepang.

Tiap grup beranggota 14-35 orang. Syarbaini tak hanya memimpin sanggar, ia juga bermain dalam hampir semua grup tersebut. Pada wayang kulit, ia sebagai dalang, dan di wayang gung dia menjadi Hanoman. ”Saya belajar semua seni itu sejak kelas empat SD, tahun 1967. Saya belajar dari para seniman di sini, termasuk Sasra, orangtua saya, yang mahir memainkan gamelan banjar,” katanya.

Kondisi kampung yang sarat kegiatan kesenian sejak lama itu membuat Desa Barikin menjadi salah satu rujukan bagi mereka yang ingin belajar kesenian tradisional. Orang pun bisa belajar dari satu jenis seni ke berbagai jenis seni lainnya. Syarbaini, misalnya, sebelum mendalang lebih dulu menguasai tetabuhan gamelan banjar. Setelah itu baru ia mempelajari tari topeng dan bajapin.

Mendalang wayang kulit dan menjadi Hanoman dalam wayang gung, baru dikuasainya pada 1969. ”Saya belajar seminggu dua kali, langsung dengan Dalang Tulur. Dia guru banyak dalang wayang kulit Banjar di Kalsel,” katanya.

Tak ada gedung

Proses belajar-mengajar kesenian tradisional di Barikin bukan seperti sekolah formal. Di kampung itu tak ada gedung atau tempat khusus untuk belajar. ”Kalau mau belajar wayang kulit, orang tinggal tajak sarubung (dirikan tenda), lalu buat panggung di belakang rumah. Pelajaran dianggap selesai kalau sudah disaru (diundang) orang untuk pentas,” ungkapnya.

Adapun untuk belajar tari-tarian, pekarangan samping rumahlah tempatnya. Mereka yang belajar wayang gung meminjam kantor pembakal (kepala desa). Selain melatih kesenian tradisional untuk kaum muda, Syarbaini juga membuat kreasi baru tari-tarian daerah.

”Untuk itu (tari kreasi baru) saya riset ke kampung-kampung Dayak di Pegunungan Meratus atau Maanyan (Kalimantan Tengah). Saya rekam musiknya dan menghafal gerakan tari dan prosesi ritual mereka,” ceritanya.

Maka, saat ia diminta membuat tarian kolosal yang melibatkan sekitar 250 pelajar untuk Hari Pendidikan Nasional di Kantor Gubernur Kalsel tahun 1985, muncullah perpaduan gerak dinamis tari Dayak Maanyan dan Meratus dalam tari tandik balian.

Saat menjadi pegawai Seksi Kesenian Kantor Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Hulu Sungai Tengah pada 1981, Syarbaini membawa kabupaten itu menjuarai festival tari tingkat Provinsi Kalsel.

Tari yang dilombakan adalah tariyan tantayungan (lolongan anjing), tradisi berburu Dayak Meratus, tapi dimainkan dalam versi tarian melayu. Musik panting Tahun 1981-1983, ia menjadi pelatih seni dan musik tradisional Taman Budaya Kalsel di Banjarmasin. Dia memperkenalkan kesenian tradisional baru yang dinamakan musik panting.

Seni musik itu pertama kali dimainkan saat resepsi pernikahannya, 15 November 1977. Sekitar enam tahun kemudian, musik panting berkembang di seluruh kabupaten di Kalsel. Seni musik itu berasal dari kesenian japin, tetapi tidak menyuguhkan tarian, hanya mengiringi lantunan lagu-lagu Banjar berlirik nasihat dengan dominasi tiga panting, semacam alat musik petik khas melayu.

Tak hanya itu, sejumlah alat musik panting dan perangkat gamelan Banjar pun dia buat sendiri. Walaupun perhatian pemerintah Hulu Sungai Tengah terhadap kesenian tradisional relatif minim, Syarbaini tetap bersyukur.

Kepeduliannya dalam mempertahankan dan mengembangkan berbagai kesenian tradisional mendapat perhatian beberapa kabupaten di Kalsel, bahkan juga Kalteng dan Kaltim. ”Kami beberapa kali tampil di Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta, karena diundang. Undangan itu, misalnya, dari Kabupaten Tabalong atau Kotabaru (Kalsel),” katanya.

Bahkan, di Kalteng, seperti daerah Tamiyang Layang, Buntok, dan Ampah, Syarbaini juga kerap diminta mengajar beberapa kelompok kesenian setempat. ”Dulu, saya sempat menjaminkan sepeda motor untuk mendapatkan uang guna menghidupi sanggar seni ini. Meski kondisinya seperti itu, saya tetap berusaha menjaga seni tradisional kampung ini (Barikin). Inilah pesan dari leluhur kami,” ujar Syarbaini.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com