Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menhut: Hutan di Lampung Rusak Parah

Kompas.com - 23/04/2010, 04:54 WIB

Kota Agung, Kompas - Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan mengatakan, Kamis (22/4), pemanfaatan kawasan hutan di Lampung sudah campur aduk sehingga kerusakannya demikian parah. Kerusakan hutan dinilai dilakukan masyarakat.

”Betul-betul sudah campur aduk (hutan) di Lampung ini. Kawasan lindung, bahkan juga Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS), dirambah juga. Sebanyak 5.000 hektar lahan di TNBBS sudah menjadi lahan kopi, betul tidak?” kata Zulkifli kepada ratusan petani hutan yang hadir dalam acara kunjungan kerja Menhut di Batutegi, Kabupaten Tanggamus, Lampung.

Mendengar sentilan itu, para petani hutan saling memandang sambil tersenyum. Menurut Zulkifli, yang merupakan warga asli Lampung Selatan, bukan lagi rahasia jika kerusakan hutan di Lampung terbilang cukup parah.

Sejak dirinya belum menjabat Menhut, kerusakan hutan berjalan masif. ”Tadi dari helikopter, saya melihat pohon dan hutan di sekitar waduk ini habis. Bahkan, ada yang ditanami bunga. Apa macam ini dibenarkan? Bagaimana air di waduk tidak cepat kering?” ungkapnya.

Dengan kondisi ini, ujarnya, tidak heran jika satwa dari taman nasional, khususnya harimau, kerap masuk ke wilayah permukiman serta mengejar-ngejar tanaman dan hewan peliharaan warga. ”Jika sudah begini, yang salah bukanlah satwa. ”Ya, salah kita hutan dirusak, rusa dan babi dihabisi,” ujar Zulkifli.

Hutan kemasyarakatan

Mantan anggota DPR dari Lampung ini mengatakan harus ada pendekatan baru dengan mengedepankan prinsip-prinsip pelestarian kawasan hutan lindung. Cara-cara lama yang lebih mengutamakan tindakan represif tidak lagi bisa dilakukan. Sebaliknya, masyarakat setempat harus dilibatkan langsung untuk pelestarian hutan.

Inilah yang kemudian melahirkan pola usaha pemanfaatan hutan kemasyarakatan. Pola itu, menurut dia, melegitimasi hak warga di dalam memanfaatkan kawasan hutan lindung untuk keperluan ekonomi, tetapi tanpa mengabaikan fungsi konservasi.

”Kayu-kayu tidak boleh ditebangi. Kalau telanjur rusak, ya harus ditanami kembali. Boleh tumpang

sari, diseling-selingi, misalnya dengan sayur-sayuran, pohon pala, durian, damar, atau juga ternak. Jadi, kawasan hutan tetap dapat memberikan kesejahteraan kepada warga sekitar, tetapi masyarakat sendiri yang wajib menjaganya,” katanya.

Dijual

Rentang waktu izin hutan kemasyarakatan ini, kata Zulkifli, selama 35 tahun. Bisa diperpanjang kalau terbukti dikelola dengan baik. Untuk itu, ia mengingatkan, areal hutan kemasyarakatan tak boleh dipindahtangankan, apalagi dijual. Hanya boleh dikelola turun-temurun.

Bupati Tanggamus Bambang Kurniawan mengatakan, saat ini, sudah ada 14.000 hektar hutan lindung yang diserahkan kepada warga dengan konsep hutan kemasyarakatan di wilayahnya. Jumlah ini, menurut bupati, sebetulnya terlalu sedikit dibandingkan target 50.000 hektar yang akan diberikan izin untuk menjadi hutan kemasyarakatan.

Hutan seluas itu menghidupi 50.000 keluarga. Dengan pemberian izin permanen hutan kemasyarakatan, katanya, warga di sekitar areal hutan tak perlu waswas dicap sebagai perambah. Namun, ia juga mengingatkan, izin hutan kemasyarakatan bisa dicabut jika warga tak mematuhi kewajiban, misalnya menebangi pohon.

Mustofa, warga Ulu Bulu, Tanggamus, menjelaskan, kendala utama yang dihadapi dalam upaya menanam pohon kembali adalah keterbatasan bibit dan dana. ”Kan diwajibkan tiap 1 hektar lahan ada 400 batang tegakan menjulang sedang dan tinggi. Bagi kami yang modal terbatas, (kewajiban) ini sulit (direalisasikan),” ujarnya.

Menjawab kerisauan ini, Zulkifli mengungkapkan, petani tak perlu khawatir soal kesulitan mencari dana untuk membeli bibit. ”Pemerintah menyediakan anggaran Rp 500 miliar untuk bantuan kebun bibit rakyat. Kepada setiap kelompok yang sudah menyemai minimal 50.000 bibit, dapat Rp 50 juta. Jika sudah ada (bibit semai), laporkan ke dinas provinsi dan anggaran segera turun,” katanya.

Zulkifli menegaskan, pengajuan izin hutan kemasyarakatan tidak dipungut biaya. ”Kalau ada kabar, (bahwa) ada pungutan, itu oknum,” kata Zulkifli. (jon)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com