Gunung Kidul, Kompas
Peresmian Proyek Bribin II dihadiri Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto, Gubernur DI Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X, Bupati Gunung Kidul Suharto, perwakilan Pemerintah Jerman, dan peneliti dari Institut Teknologi Karlsruhe, Jerman. ”Investasi bendungan bawah tanah memang mahal, tetapi operasionalnya sangat murah,” kata Djoko. Ongkos memompa air dengan teknologi mikrohidro bendungan bawah tanah ini nol rupiah.
Pemerintah Jerman mengeluarkan dana 3,2 juta euro untuk pengadaan lift, pipa, turbin, pompa, dan pembangunan bendungan bawah tanah. Indonesia mengalokasikan Rp 35 miliar.
”Program pengelolaan air di Bribin adalah yang pertama di dunia. Semua rasa frustrasi saat mengembangkan teknologi baru terobati hari ini,” kata Guru Besar Institut Teknologi Karlsruhe Franz Nestmann.
Menurut Djoko, teknologi pengangkatan air di Goa Bribin akan diadopsi untuk penyelesaian krisis air di wilayah karst lain yang meliputi 15,4 juta hektar di Indonesia. Proyek Bribin II diharapkan dapat menjadi laboratorium lapangan untuk penelitian pada masa mendatang.
Pada saat peresmian, warga di sekitar Goa Bribin, Semanu, berkerumun menyaksikan semburan air dari pipa yang berwarna merah-putih serta merah-kuning-hitam sebagai warna bendera Indonesia dan Jerman. Namun, warga mempertanyakan aliran air Proyek Bribin II ke rumah warga yang belum maksimal. Pengangkatan air belum diikuti perbaikan jaringan pipa.
Ngateman, warga Dusun Sepon, dan Pawirorejo, warga Dusun Plebengan Kidul, mengeluh, jaringan pipa belum sampai ke rumah mereka yang berjarak
Camat Semanu Suhardi menyatakan, delapan dusun dengan 800 keluarga masih belum terjangkau sambungan air. Dia berharap keberhasilan Bendung Goa Bribin dapat diikuti pembangunan jaringan pipa baru. Kepala Satuan Kerja Pengembangan Air Minum DI Yogyakarta Hardjono mengatakan, jaringan pipa akan dibangun bertahap oleh PDAM Gunung Kidul. Aliran air tahap pertama menjangkau 6.700 sambungan rumah.