Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Spirit Antikorupsi ala Saminisme

Kompas.com - 26/01/2010, 14:27 WIB

Oleh Fakhruddin Aziz

Korupsi adalah sebuah istilah yang begitu familiar di telinga kita. Pasalnya, perilaku tak terpuji itu sudah sekian lama mentradisi dan menyelimuti sendi-sendi kehidupan di negeri ini. Lihat saja, di media massa baik cetak maupun elektronik tak pernah henti-hentinya diberitakan kasus-kasus korupsi yang nominalnya mencapai jutaan, miliaran, bahkan triliunan rupiah.

Tak sedikit para pejabat yang akhirnya dijebloskan ke hotel prodeo lantaran korupsi. Ya, korupsi adalah perilaku bejat yang telah menerobos batas-batas moralitas dan ajaran agama. Karena korupsi pula, negeri tercinta ini terjerembab dalam situasi keterpurukan yang berkepanjangan. Sementara para koruptor menumpuk pundi-pundi kekayaannya, rakyat miskin semakin termiskinkan olehnya.

Uang memang punya kekuatan dahsyat yang mampu meruntuhkan benteng moralitas seseorang. Bagi mereka (koruptor), uang telah dianalogikan dengan kekuatan absolut yang mereka buru dan puja sehingga berbagai cara pun ditempuh demi menggapainya.

Padahal, mereka jelas tahu bahwa semua agama maupun norma apa pun yang berkembang di masyarakat tak ada satu pun yang membolehkannya. Semestinya sebagai manusia beragama dan berbudaya yang hidup di negeri yang sarat dengan nilai-nilai luhur ini tidak memberikan tempat sedikit pun bagi perilaku korup.

Di samping agama, sederet norma, tradisi, dan kearifan lokal yang ada di negeri ini juga banyak mengajarkan kearifan dan sebaliknya melarang segala bentuk perilaku tak terpuji, seperti korupsi. Bicara masalah tradisi dan kearifan lokal, dalam hal ini ajaran saminisme patut kita tengok; kebetulan penulis berasal dari Blora.

Kemudian jika dikaitkan dengan perilaku korupsi, dalam komunitas masyarakat samin yang dikomandani oleh Samin Surosentiko itu terdapat tradisi lisan yang relevan, yakni "Aja kutil jumput, bedhog colong" (Jangan suka mengambil/mencuri barang milik orang lain tanpa seizin pemiliknya). "Napa malih bedhog colong, napa malih milik barang, nemu barang teng dalan mawon kula simpangi" (Apalagi mencuri, apalagi mengambil barang, menjumpai barang tercecer di jalan itu pun saya jauhi). Tradisi lisan tersebut merupakan angger-angger pratikel (hukum tindak-tanduk) dalam saminisme.

Menurut hemat penulis, yang pertama mengajarkan untuk tidak mengambil milik orang lain secara aktif. Adapun yang kedua menunjukkan sikap pasif, artinya ada peluang di depannya, namun tidak mau mengambilnya. Selain itu juga diajarkan untuk "sabar lan trokal", maksudnya harus sabar dan mengekang hawa nafsu, termasuk nafsu untuk korupsi dalam konteks kekinian.

Ajaran di atas adalah sejumput nilai-nilai kearifan yang diajarkan dalam komunitas masyarakat samin. Konon, karena masing-masing pengikutnya atau yang juga dikenal dengan sedulur sikep memegang ajaran itu, sapi yang dibiarkan di luar rumah pun tak akan hilang, dan jika kehilangan barang pun akan mudah mencarinya karena tidak berpindah posisi dari tempat hilang atau jatuhnya.

Hal itu jelas berbanding terbalik dengan perilaku korup, yang nyata-nyata mengambil barang atau uang yang bukan haknya dengan beragam manipulasi dan modus operandinya. Bahkan, perilaku bejat itu kerap dilakukan secara berjamaah yang melibatkan orang-orang penting. Konon, para koruptor itu adalah orang-orang yang punya intelektualitas yang memadai dan punya kedudukan penting. Namun sayangnya, intelektualitas dan kedudukannya itu tidak diimbangi dengan benteng moralitas yang kokoh. Kedua hal yang dimilikinya itu justru dimanfaatkan untuk mencuri uang dengan taktik dan manipulasinya yang menjijikkan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com