Ada yang mendapat tomat, kubis, rambutan, dan ada juga yang hanya mendapat kacang panjang. Sementara itu, kepala sapi dikubur ke dalam tanah setelah dibalut kain mori.
”Tradisi ini akan terus kami lestarikan. Ini adalah cara nenek moyang kami menghormati alam yang telah memberikan air untuk kehidupan warga desa,” kata Herry.
Bagi warga Desa Sumbermujur, hutan bambu dan mata air tersebut merupakan kesatuan yang mendukung hidup mereka. Saat ini mata air tersebut dimanfaatkan untuk air minum oleh minimal warga Desa Sumbermujur yang jumlahnya 2.159 keluarga atau 6.761 jiwa.
Mata air dari hutan bambu juga mengaliri 891 hektar sawah di empat desa di Kecamatan Candipuro sepanjang tahun. Pada musim kemarau mata air itu juga mengairi 552 hektar sawah di Desa Pandanwangi, Kecamatan Tempeh, seminggu sekali selama 24 jam.
Dengan demikian, warga di lima desa dan sekitarnya, di sana, bisa panen padi tiga kali setiap tahun. Berkat alam ini sungguh disadari mereka.
Pengalaman hidup susah pada dekade 60-an hingga 70-an menjadi pelajaran berharga bagi mereka. Saat itu, ketika ekonomi Indonesia terpuruk, petani pun ikut terpuruk. Warga Desa Sumbermujur mengalami masa makan bulgur akibat krisis pangan se-Indonesia.
Produktivitas pertanian mereka kecil. Ini disebabkan pola tanam dan varietas padinya buruk. Kondisi diperparah dengan rusaknya hutan bambu akibat penebangan bambu yang dilakukan warga secara besar-besaran. Hal ini berujung pada surutnya debit mata air sehingga tak cukup untuk mengairi semua areal sawah di desa Sumbermujur saja.
Berangkat dari permasalahan itulah, sejumlah warga desa sadar akan pentingnya kelestarian hutan bambu berikut mata airnya. Hutan yang rusak, perlahan tetapi pasti, berhasil dihijaukan kembali. Debit air berangsur-angur pulih. Seiring dengan itu, intensifikasi pertanian dilakukan.
Tahun 2005, melalui bantuan dana dari Pemerintah Provinsi Jawa Timur dan Pemerintah Kabupaten Lumajang sebesar Rp 375 juta, warga memperluas areal hutan bambu dari 8 hektar menjadi 13 hektar. Hutan ini merupakan hutan desa. Kini debit mata airnya 600 liter sampai 800 liter per detik.
Inilah ruwatan. Inilah
Kesadaran warga untuk terus melestarikan dan mengembangkan hutan bambu dan mata airnya adalah tumbuhnya ruwatan tradisi dalam makna ataupun tindakan. Dan inilah jawaban alam, debit mata air dari hutan bambu tidak pernah surut meskipun kemarau sekalipun.