Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ayo Ngonthel Sama Towil

Kompas.com - 14/11/2009, 06:03 WIB

ANGAN-angan Towil (35) sederhana, yakni melihat banyak orang bersepeda sehingga polusi udara akan jauh terkurangi. Towil tahu itu angan-angan yang nyaris mustahil, namun dia tetap militan berjuang. Sepeda harus jadi moda transportasi terhormat.

Towil, yang adalah Ketua Paguyuban Onthel Djogjakarta (Podjok) itu tak hanya sekadar mengoleksi 40 onthel, sepeda kuno buatan tahun 1960 ke bawah. Namun ia dan Podjok berkeliaran kemana-mana untuk menyuarakan bahwa bersepeda itu amat menarik dan perlu.

Bersepeda jelas bukan imbauan yang populer, di tengah masifnya kendaraan bermotor memenuhi jalan. Siapa sih yang suka bersepeda, mengingat orang zaman sekarang tak betah capek dan berkeringat. Lebih enak naik motor, tinggal gas dan tak keringatan.

"Tapi bagi saya, bersepeda itu sangat menyenangkan. Otak dan suasana hati bisa santai, tidak keburu-buru. Bisa melihat pemandangan, bisa melihat banyak hal karena laju sepeda pelan. Satu lagi, bersepeda itu salah satu cara menuju sehat," ujarnya.

Yogyakarta, mestinya bisa seperti dulu, saat masih menyandang kota sepeda. Memang, tiga-empat tahun terakhir ini, geliat bersepeda mulai terasa di Yogyakarta. Namun belum cukup untuk dijadikan klaim bahwa Yogyakarta sudah menjadi gudang sepeda.

"Harus ada lebih banyak lagi orang yang naik sepeda. Nggak peduli yang dibeli masyarakat adalah sepeda onthel, sepeda gunung, sepeda jengki, atau sepeda mini. Harus ada banyak program sepeda santai dan kampanye bersepeda di mana-mana," papar dia.

Karena itu, ia dan Podjok gencar keluyuran mencari mangsa, untuk diracuni otaknya agar mau mengayuh pedal sepeda. Podjok rutin datang ke ajang sepeda santai, acara seremonial, hingga mengisi pameran. Gayung bersambut karena Pemerintah Kota Yogyakarta menggulirkan program Sego Segawe (Sepeda Kanggo Sekolah lan Nyambut Gawe-sepeda untuk sekolah dan bekerja), akhir 2007 lalu.

Gerakan bersepeda, pun, mulai tumbuh. Podjok pun terimbas, karena banyak diminta memeriahkan acara. Dalam kepemimpinannya Podjok meraih banyak penghargaan. Walau demikian, Towil tidak menganggap perjuangan sudah selesai. Ia tak mau bersepeda hanya sebatas menjadi tren yang suatu saat berakhir.

Karenanya, ia bersemangat datang jika ada undangan dari komunitas sepeda, sekolah, atau bahkan dari ada pihak RT (rukun tetangga). Tanpa dibayar, Towil pun datang. Ia pun dengan senang hati meminjamkan koleksinya ke pihak lain untuk dipamerkan. Yang ingin melihat koleksinya dan mencicipi onthelnya, boleh mendatangi rumahnya di Dusun Bantar Desa Banguncpto, Sentolo, Kulon Progo.

Sepertinya saya jadi pejuang sepeda, hahahaha. Tapi nggak apa-apa kan jika setiap ketemu saya, tema obrolannya sepeda. Ketika saya tahu orang itu lalu membuat komunitas bersepeda, atau mulai menyentuh sepeda, itu sudah kabar menggembirakan, ujar Towil yang tiap hari menggenjot sepeda, minimal melaju 2 km mengantar buah hatinya yang berusia 6 tahun pergi ke sekolah.

Apakah dia pernah tertabrak saat bersepeda? "Ya pernah lah, walau sekali. Saat itu saya muter di kompleks Universitas Gadjah Mada (UGM), eh tiba-tiba ada mobil nabrak dari depan. Untung saya hanya lecet-lecet, tapi kagetnya itu lho, lha wong lagi enak-enaknya ngepit disundul dari depan," paparnya.

Towil paling jengkel jika diklakson dan hampir kepepet mobil dan motor, walau pun sepedanya sudah seminggir mungkin. Parahnya, itulah yang kerap menimpa para pengendara sepeda. Di Yogya yang daerah sepeda pun, sepeda belum dihargai pengguna jalan yang lain. "Menyedihkan, memprihatinkan," ujar dia.

Mimpi

Bagi Towil, bisa mempunyai sepeda onthel satu biji pun, dulu seperti mimpi. "Saya naik sepeda sejak SD di Boyolali. Untuk main dan sekolah, selalu naik sepeda. Di jalan sering saya melihat orang bersepeda onthel. Keren banget mereka. Naik sepeda onthel lebih keren ketimbang naik motor," katanya.

Cita-cita lelaki kelahiran Boyolali 16 November 1973 ini baru tercapai tahun 2000. Sepeda merek Raleigh buatan Inggris tahun 1940 sukses dibawa pulang setelah ditebus Rp 800.000 dari si pemilik. Saat itu ia belum terjun ke dunia pit onthel, karena masih menekuni usaha kerajinan (handycraft) sebagai agen.

Riwayat pekerjaan Towil cukup berliku. Ia pernah bekerja serabutan di sebuah restoran di Yogyakarta, menjadi karyawan toko obat yang membuka konter di sebuah hotel di Yogyakarta, hingga menjadi agen di usaha handycraft. Yang terakhir ini bahkan ditekuni 15 tahun.

"Panggilan saya dulu Towil Handycraft. Sekarang jadi Towil Onthel, atau Towil Podjok, hehehe. Sampai sekarang masih banyak teman saya bertanya: Ini Towil yang Towil Handycraft atau bukan? Saya jawab iya. Beberapa dari mereka sulit percaya," ujarnya.

Dampak dari bekerja di hotel dan di sektor handycraft membuat Towil dipaksa dan terpaksa belajar Bahasa Inggris. Keahliannya itu ternyata berguna di kemudian hari. Sekarang Towil go internasional , misalnya dalam berburu sepeda, ia sudah menumpuk relasi. Banyak koleksinya yang didapat dari kolektor di Belanda.

Laki-laki yang menamatkan studi di SD Muhammadiyah Boyolali, SMP Muhammadiyah 10 Boyolali dan SMA Muhammadiyah Boyolali ini mengatakan, hobinya diselaraskan dengan mencari uang. Jika cocok harganya, sepeda saya lepas. "Tapi ada beberapa yang mungkin tidak akan saya lepas, misalnya Swiss Army, hehehehe," ujarnya.

Pekerjaan lain Towil sekarang adalah pemandu turis asing yang ingin menjelajah pedesaan. Lokasi rumahnya yang masih pedesaan, sangat mendukung. Turis-turis itu pun diajak berkeliling desa naik onthel. Kalau nggak mau naik onthel, Towil juga punya sepeda gunung dan sepeda jengki. Towil menikmati apa yang dijalani sekarang.

"Saya hanya mencoba menikmati hidup seperti orang bersepeda. Pelan-pelan tapi maju ke depan. Hidup itu dinikmati, jangan terburu-buru. Kekuatan bersepeda kan menunjukkan kekuatan manusia. Kalau jalan mendaki dan berat ya sepeda dituntun. Intinya hidup itu adalah mengukur kekuatan diri," kata suami dari Rustina (26) dan bapak dari Malio Yudhistira (6).  (Lukas Adi Prasetya)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com