Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Nonton "Striptease" untuk Apa?

Kompas.com - 28/10/2009, 16:06 WIB

KOMPAS.com — Waktu menunjukkan sekitar pukul 22.45 ketika kami tiba di Hotel Park Regis, tempat kami menginap. Belum terlalu larut bagi orang yang tinggal di Jakarta, karena itu berarti baru sekitar pukul 18.45. Apalagi, di Jakarta saya biasa pulang dari kantor pukul 23.00, atau sekitar pukul 04.00 waktu Sydney.

Meski begitu, kami sebenarnya sudah memutuskan untuk kembali ke kamar. Sebab, jalan di depan hotel juga sudah sepi. Toko-toko di sekitarnya juga sudah tutup, kecuali satu toko seperti minimart di seberang hotel yang buka 24 jam.

Tapi begitu masuk lobi hotel kami disapa akrab petugas front office yang menanyakan dari mana saja jalan-jalan. Kami pun jujur menjawab dari King Cross. “Ngapain jauh-jauh ke sana. Di dekat sini saja ada tempat hiburan kok,” kata dia.

Wah asyik nih. Pikir kami yang kemudian bertanya lebih jauh soal tempat itu dan di mana letaknya. Setelah mendapat penjelasan rinci, kami kemudian naik ke kamar untuk menaruh barang-barang dan janjian ketemu lagi di lobi. Kami sepakat untuk tahu seperti apa sih show tari telanjang itu.

Dari hotel kami tak perlu berlelah-lelah, karena tempat itu letaknya persis di belakang McDonald, di ujung blok seberang hotel. Beruntung salah satu di antara kami tampaknya sudah agak paham bagaimana cara masuk ke tempat hiburan macam itu.

Setelah membayar 20 dollar untuk tiket, kami dipersilakan masuk ke dalam melalui tangga, persis kayak mau masuk ke gedung bioskop. Di belokan tangga, seorang perempuan muda mempersilakan kami naik lagi.

Sampai di dalam, saya melihat tak banyak pengunjung di ruangan berukuran sekitar 10 x 10 meter itu. Ada sebuah minibar, tempat para pengunjung memesan minuman. Persis di tengah ruangan ada tiga meja panjang yang berfungsi sebagai panggung tempat para penari beraksi. Satu meja agak lebar dan panjang ditempatkan mepet ke dinding. Di atasnya ada dua tiang stainless berdiri ke plafon dengan jarak antartiang sekitar tiga meter.

Di depan meja pertama ada sebuah meja panjang lagi yang lebih kecil, dan dipasang membentuk hutuf T dengan meja pertama. Satu meja untuk menari lagi diletakkan di bawah meja kedua. Di antara meja kedua dan ketiga terdapat sebuah gang sekitar 1,5 meter untuk lalu lalang pengunjung, pelayan bar, atau penari yang akan menemani pengunjung.

Mengelilingi meja kedua dan ketiga itulah ditempatkan kursi-kursi dan meja bulat untuk duduk-duduk pengunjung. Ada juga pengunjung yang lebih suka berdiri di depan pintu sambil menunggu sapaan manis para penari yang sudah selesai atau yang sedang menunggu giliran menari. Ada juga yang lebih senang duduk-duduk di kursi-kursi depan meja bar. Pokoknya bebas di mana saja dan tidak harus membeli minuman.

Ketika masuk, saya perhatikan ada dua pria dan seorang perempuan yang tampaknya bukan penari. Di sudut lain ada dua atau tiga pria didampingi perempuan muda yang mengenakan baju sekenanya. Saya pastikan si perempuan adalah satu di antara belasan penari yang tampil malam itu.

Di sudut lain ada seorang pria berbadan besar berkulit hitam khas Polynesia dengan rambut keritingnya. Ia duduk sendirian persis di depan sebuah bangku panjang kedua yang digunakan penari untuk beraksi.

Di meja Si Hitam itu saya melihat sebotol minuman berikut gelasnya dan sejumlah kertas-kertas kecil panjang berwarna gelap. Ukurannya sekiar 2 x 10 cm. Baru kemudian saya tahu bahwa amplop kecil itu adalah semacam angpau agar pengunjung bisa sedikit menyentuh si penari. Nilainya 10 dollar per amplop, bisa dibeli di bar atau lewat pelayan yang berkeliling ke meja-meja pengunjung.

Satu sesi pertunjukan biasanya berlangsung sekitar 10 menit dengan menampilkan dua penari sekaligus. Keduanya biasa naik ke panggung pertama yang ada tiang stainless-nya tadi masih dengan pakaian lengkap, meskipun tak sepenuhnya menutupi tubuhnya.

Di “panggung utama” itulah mereka meliuk-liukkan tubuhnya mengikuti irama musik yang kadang tak pas dengan gerakannya. Tarian “pembuka” itu tak sampai dua menit. Setiap penari biasanya lalu membuka sepatu dan baju luarnya hingga tersisa, maaf, bikininya saja.

Dengan hanya underwear two pieces itu, mereka kemudian berlenggak-lenggok di atas panggung kedua dan ketiga, persis di depan hidung pengunjung. Adegan itu pun tak lama karena mereka akan langsung membuka pakaian yang tersisa hingga betul-betul nude!

Namanya juga dunia hiburan, hukum ekonomi kapitalislah yang berlaku. Siapa punya uang itulah yang mendapat servis berlebih. Maka, siapa pun Anda, seburuk apa tampang Anda, kalau di atas meja Anda terlihat ada tumpukan amplop warna gelap, si penari akan beraksi persis di depan hidung Anda.

Tubuh polos itu akan meliuk-liuk, menggelepar-gelepar dan “makin terbuka” di depan hidung Anda. Aturan mainnya jelas, pengunjung boleh memelototi tubuh polos yang terbuka di depan hidung, memejamkan mata, menahan-nahan napas dengan lidah menjulur-julur sementara mata berkejap-kejap sambil bibir berdecak-decak, tetapi sama sekali tidak boleh memegang kulit apalagi mencolek tubuh si penari.

Maksimal yang diperkenankan hanyalah menyelipkan amplop berwarna gelap itu di ujung stocking yang dikenakan si penari. Itu saja! Bahwa ketika menyelipkan angpao itu jemari Anda sedikit menyentuh kulit si penari masih bolehlah. Tapi jika mau lebih jauh dari itu, Anda akan ditangkap dan disuruh keluar.

Maka, selama sekitar satu jam menonton pertunjukan tari tak senonoh itu, yang berkelebat di benak saya bukanlah keinginan untuk membeli amplop agar bisa sedikit menyentuh kulit mulus si penari, yang rata-rata muda, mulus, dan cantik, tetapi justru pertanyaan untuk apa mereka buang-buang uang ratusan dollar hanya untuk dibuat pening kepalanya.

Seperti Si Hitam Polynesia yang duduk di seberang kami itu, misalnya. Ketika saya masuk dia sudah terlihat pening kepalanya dan beberapa kali terlihat raut mukanya menyiratkan sebuah hasrat yang menggebu. Sepertinya dia ingin berbuat lebih jauh, tetapi sadar bahwa itu tak diperbolehkan. Maka, menenggak bir adalah jalan keluar sementara.

Dalam satu jam itu saya melihat Si Hitam sudah menyelipkan ke paha para penari yang berganti-ganti setidaknya 20-an amplop. Saya tidak tahu seberapa banyak yang sudah dia selipkan sebelumnya atau sesudah saya tinggalkan tempat itu.

Hitungan saya, 20 amplop saja berarti sudah 200 dollar atau Rp 1.600.000 ia buang untuk memberi tips kepada para penari. Belum lagi tiket masuk 20 dollar dan minuman yang paling murah Rp 40 dollar per botolnya.

Padahal kalau dipikir-pikir, apa yang dia dapat dari menonton pertunjukan semacam itu? Kepuasan batin? Ah masak! Yang pasti adalah pening kepala…. (M Suprihadi)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com