Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hidup Kami Ini Keras, Mama...

Kompas.com - 18/08/2009, 10:22 WIB

Lutfiah, pengawas di Dinas Pendidikan Kabupaten Kupang, mengatakan, mendidik anak-anak di daerah yang demikian memang butuh ketelatenan. ”Saya pernah mencoba mengajar di salah satu desa yang gurunya mengaku sudah kewalahan. Pada hari pertama, saya undang orangtua murid. Apa yang mereka katakan? ’Yang menyuruh anak saya sekolah kan pemerintah. Jadi, biar saja kalau mereka tidak mau pergi ke sekolah’,” cerita Lutfiah.

Pemahaman tentang sekolah gratis juga sangat beragam. Sebagian besar mengartikannya dengan sekolah tanpa biaya sama sekali. ”Jadi, mereka juga tidak mau membeli buku (pelajaran),” paparnya. ”Tapi, setelah diberi pemahaman bahwa sekolah itu merupakan bekal hidup anak-anak mereka, orangtua murid dengan senang hati memenuhi kebutuhan sekolah anak-anak mereka,” ujar Lutfiah.

Saat ini jalan utama menuju kawasan perbatasan Indonesia-Timor Leste di NTT pada umumnya sudah mulus. Perjalanan dari Kota Kupang menuju Kefamenanu berjarak 300-an kilometer, misalnya, cukup nyaman. Tak banyak hambatan. Tapi, jalan dari ibu kota kabupaten—seperti dari Kefamenanu atau Atambua, ibu kota Belu—menuju tapal batas, sebagian besar rusak. Ini merupakan kendala dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Menanggapi kondisi wilayah dan masyarakat perbatasan yang demikian, Yos Mamulak, Asisten Tata Praja Setda NTT, mengatakan, NTT bak orang yang memiliki nafsu besar tenaga kurang.

”Bagaimana kami bisa cepat berkembang jika APBD kami sedikit, hanya sekitar Rp 1 triliun per tahun,” ujarnya.

Menurut dia, perhatian pemerintah daerah selama ini sebenarnya sudah cukup baik. ”Penyuluhan pertanian, kesehatan, pembangunan masyarakat desa, terus digalakkan. Tapi, hasilnya ya... seperti itu. Ada BLT (bantuan langsung tunai) dan raskin (beras untuk rakyat miskin), penduduk malah jadi malas bertani. Mereka menganggap sudah ada gaji dari pemerintah,” kata Yos dengan tawa prihatin.

Soal keamanan tapal batas, menurut Yos dan Kepala Polda NTT Brigjen (Pol) Antonius Bambang Suedi serta Komandan Korem 161/Wirasakti Kupang Kolonel Dody Usodo Hargo Suseno, relatif aman. Meski ada wilayah daratan yang diperdebatkan. ”Katanya, ada sejumlah wilayah adat warga kita yang masuk Timor Leste,” kata Yos.

Batas kedua negara yang begitu fleksibel—berupa sungai yang kering pada musim kemarau dan tanah tak berpagar—juga kerap membuat aparat keamanan repot. Penyebabnya, ternak peliharaan warga ”bertamu” ke negara tetangga sehingga aparat harus berkunjung ke pos lintas batas Timor Leste meminta tolong mencarikan ternak yang ”nyelonong” itu.

Masyarakat perbatasan bisa dibilang tidak pernah tahu permasalahan yang dihadapi pemerintah untuk memajukan bangsa dan bagaimana mengisi kemerdekaan ini. Sebut misalnya warga di Wini, Napan, dan Haumeniana (Kabupaten Timor Tengah Utara) dan Oepoli (Kabupaten Kupang), yang berbatasan dengan Distrik Oekusi di Timor Leste. Begitu juga warga di Motaain dan Turiskain (di Kabupaten Belu) yang berbatasan dengan Distrik Bobonaro, juga di Motamasin (di Kabupaten Belu), yang berbatasan dengan Distrik Sana. Mereka hanya tahu bagaimana mengisi waktu untuk bertahan hidup.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com