Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hidup Kami Ini Keras, Mama...

Kompas.com - 18/08/2009, 10:22 WIB

Beras bagi mereka merupakan barang mewah. Seperti diceritakan Petrus Naif (43) dan Tobias Bifel (47), dalam seminggu biasanya mereka hanya dua kali makan nasi. Selebihnya, makan apa saja pengganjal perut: ubi, kacang hutan (yang disebut koto), labu kuning, atau jagung.

Sabtu pagi itu, Petrus dan Tobias sedang jongkok di dekat pasar ”perbatasan” Haumeniana. Keduanya asyik mengunyah kacang hutan—bentuknya seperti kacang merah, tetapi pipih—yang dilengkapi cabe rawit bulat, garam kasar, serta bawang merah mentah. Mereka bak membuat sambal kacang di dalam perut. ”Kami lapar sekali. Dari tadi belum makan,” kata kedua lelaki tanpa alas kaki tersebut.

Petani jeruk dan kemiri itu menambahkan, untuk mencapai Pasar Haumeniana, mereka harus berjalan kaki 10 kilometer dari Oetulu, kampung mereka. ”Kami masing-masing bawa uang Rp 20.000 untuk belanja. Saya beli daun bawang, tomat, beras, dan sedikit bahan bangunan untuk rumah,” ujar Petrus, menunjukkan isi kantong keresek hitam yang dipegangnya.

Bahan makanan yang mereka beli ternyata hanya untuk makan sehari. ”Hari lain, ya makan apa yang ada saja. Ada ubi ya makan ubi, ada jagung ya makan jagung,” kata keduanya dengan tawa lemah.

Dengan kondisi perekonomian keluarga minim, anak sulung Petrus saat ini ke Malaysia setelah lulus SMA di Kupang. Ia bekerja di perkebunan kelapa sawit. Seorang lagi kini putus sekolah di tingkat SMA karena tak ada biaya, sedangkan tiga lainnya masih di SD dan SMP. ”Keuangan kami sangat terbatas. Sekalipun dapat BLT (bantuan langsung tunai) dan raskin, semua itu hanya cukup untuk makan dua minggu,” ujarnya.

Tak hanya Petrus dan Tobias yang mengeluh seperti itu. Sejumlah ibu yang ditemui di Desa Oelneke—tak jauh dari Pasar Haumeniana—juga mengungkapkan hal serupa. ”Hidup kami ini keras, mama.... Tais (tenunan) yang kami buat tak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Karena itu, kami juga harus mencari pekerjaan lain, seperti mencari kayu bakar untuk dijual atau membersihkan ladang orang lain agar mendapat upah dua,” kata mereka kompak.

Di desa itu, demikian pula di sejumlah desa lain di kawasan perbatasan, kaum perempuan pada umumnya mengisi waktu dengan membuat tais (dalam bentuk selendang, hiasan dinding, atau sarung). Harga jualnya beragam, bergantung pada bahan dasar yang digunakan. Selendang sederhana yang dibuat dalam waktu satu minggu, misalnya, dijual seharga Rp 70.000. Kaum lelakinya sebagian besar adalah petani.

Masyarakat perbatasan terkesan merupakan orang-orang yang pasrah pada keadaan. Mereka perlu terus dimotivasi untuk bangkit dan maju.

Di daerah itu memang ada SD, SMP, serta SMK yang dimanfaatkan penduduk. Tapi, pengelolaannya belum optimal. Beberapa anak SD berangkat ke sekolah pada jam pelajaran sudah dimulai. Beberapa lainnya sudah pulang pada pukul 09.30 Wita.

Karena itu, tak perlu kaget jika Komandan Satuan Tugas (Satgas) Pengamanan Perbatasan (Pamtas) Haumeniana Letnan Dua Ahmad Hady menceritakan, ada anak kelas II SD belum bisa membaca. ”Kami di sini kadang-kadang membantu mengajar anak-anak SD dan SMP pada malam hari. Beberapa anak kelas II SD belum bisa baca,” ujarnya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com