Jakarta, Kompas
Itu terungkap pada jumpa pers ”Stop MOS Agresif” yang diselenggarakan Yayasan Semai Jiwa Amini (Sejiwa), Plan Indonesia, dan Yayasan Salihara, Senin (3/8). Ketua Yayasan Sejiwa, yang aktif mengampanyekan anti-bullying selama beberapa tahun terakhir, Diena Haryana mengatakan, terjadi empat kasus siswa meninggal saat atau sesudah mengikuti MOS baru yang diberitakan di sejumlah media massa pada tahun 2009, yakni Roy Aditya (SMAN 16, Surabaya), Muhamad Rajib (Sekolah Pelayaran Menengah Pembangunan Tanah Merdeka, Jakarta), Dara Sinta (SMPN 2 Banjar), dan Soni Galaxi Putra (SMK Cendana, Sumatera Barat).
Diena mengatakan, tidak ada yang bisa menjamin bahwa dengan menerima tindakan agresif, anak menjadi kuat mental, sebaliknya si pelaku akan terbiasa mengumbar ego liar. Sejumlah sekolah yang mengubah program MOS sehingga menjadi lebih ramah dan menyenangkan dapat memutus tradisi merugikan itu.
Guru besar tetap Universitas Katolik Atma Jaya, Prof Irwanto, mengatakan, dalam keadaan agresif, hormon adrenalin bekerja keras dan menimbulkan kepuasan. Kepuasan itu diproses dalam sistem saraf otak yang kemudian menimbulkan adiksi melakukan kekerasan lagi. Kekerasan bahkan kemudian menjadi siklus di sekolah itu.
Abdul Hamid dari Dinas Pendidikan DKI Jakarta mengatakan, Departemen Pendidikan Nasional telah menyusun buku Pedoman Pembinaan Masa Orientasi Siswa (PPMOS) pada November 2008 dan mendistribusikannya ke sekolah.
Buku panduan secara detail berisi kisi-kisi yang dapat membuat masa orientasi lebih kondusif dan produktif.