Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kala Teroris Menyalip di Tikungan (Lagi)

Kompas.com - 31/07/2009, 05:04 WIB

KOMPAS.com — Dalam dua bulan terakhir, Cilacap seakan tak pernah sepi dari pemberitaan media. Di tengah compang-campingnya birokrasi akibat banyaknya pejabat di pemerintah kabupaten setempat yang ditahan penegak hukum karena kasus korupsi, sejumlah warga Cilacap diringkus Densus 88 karena diduga terkait jaringan terorisme. Sebagian lagi kini menghilang dan menjadi buron.

Sejumlah titik di wilayah ini akhirnya terungkap menjadi basis jaringan terorisme. Lebih mengejutkan lagi, dalam beberapa tahun terakhir akhirnya diketahui buron terorisme utama di Indonesia, Noordin M Top, tinggal di wilayah yang terletak di ujung barat daya Jawa Tengah tersebut.

Bukan itu saja, Noordin diduga menikah dan mempunyai dua anak dengan seorang perempuan di Desa Pasuruhan, Kecamatan Binangun, bernama Arina Rahma.

Penangkapan Saefudin Zuhri, warga Desa Danasri, Kecamatan Nusawungu, yang diduga sebagai kurir kepercayaan Noordin pada 21 Juni 2009 menjadi pembuka kotak pandora betapa telah meluasnya jejaring kekuatan terorisme di wilayah Cilacap. Lalu, terungkaplah kedok sosok tokoh agama di Desa Pasuruhan, Kecamatan Binangun, Bahrudin Latif, yang ternyata menjadi orang dekat Noordin. Belakangan diketahui Bahrudin adalah mertua Noordin.

Dari keterangan Zuhri juga diketahui bahwa dua warga Desa Planjan, Kecamatan Kesugihan, yakni Ahmad Yani dan Koko Muntako, diduga terkait jaringan terorisme. Dua orang tersebut kini pun kabur entah ke mana. Yani diduga sebagai penyedia bahan peledak bagi jaringan teroris pimpinan Noordin.

Rangkaian penangkapan dan pengejaran tersebut seakan menunjukkan betapa Cilacap telah menjadi basis utama pergerakan terorisme. Di wilayah inilah Noordin diduga mengendalikan jaringannya. Dan, di sini pula diduga bahan peledak untuk aksi jaringan ini didistribusikan.

Penemuan bahan peledak dan alat perakit bom di pekarangan belakang rumah Bahrudin dua hari menjelang peledakan bom di Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton seakan memperkuat asumsi ini. Asumsi tersebut diperkuat lagi dengan keterangan Zuhri yang menyatakan bahwa dia pernah mengantar seseorang asal Palembang ke rumah Yani untuk membeli bahan peledak.

Pertanyaannya, mengapa harus Cilacap? Kepala Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Purwokerto Machfudin Yusuf berpendapat, tumbuhnya gerakan ekstrimisme di wilayah Cilacap dan sekitarnya karena sejumlah faktor yang saling berkait.

Faktor sosial ekonomi, menurut dia, menjadi penyebab utama. Sebagai daerah agraris di satu sisi dan industri di sisi lain, Cilacap mempunyai persoalan ketimpangan ekonomi yang sangat lebar. Industri-industri besar sebagian besar berada di kota. Orang-orang kaya pun banyak tumbuh di perkotaan.

Data Badan Pusat Statistik menyebutkan, jumlah penduduk miskin di Cilacap pada tahun 2008 terbesar di wilayah eks-karesidenan Banyumas, yakni mencapai 150.721 jiwa atau 34,2 persen. Disusul kemudian Kabupaten Banyumas sebanyak 141.183 jiwa atau 34,1 persen pada 2008, Purbalingga 68.313 jiwa atau 29,3 persen, dan Banjarnegara 85.420 jiwa atau 33 persen.

"Orang kaya semakin kaya dan orang miskin semakin miskin," kata Yusuf.

Sebagian besar penduduk miskin itu berada di pedesaan. Mereka umumnya petani, baik penggarap, buruh, maupun pemilik lahan. Murahnya harga jual produk pertanian dan tingginya biaya tanam membuat kesejahteraan mereka tak pernah terkatrol.

Generasi mudanya pun kebanyakan memilih pergi ke luar negeri karena bertani tak lagi menjanjikan kesejahteraan. Tak pelak, Cilacap menjadi daerah pengekspor tenaga kerja ke luar negeri terbesar di Jateng.

Yusuf mengatakan, kemiskinan di pedesaan itu dimanfaatkan oleh kelompok tertentu untuk menumbuhkan ekstrimisme. Sentuhan agama membuat mereka semakin mudah larut ke dalam pola pikir esktrem. Hampir semua buron ataupun orang yang diduga terkait jaringan terorisme dari Cilacap berasal dari pedesaan. Desa-desa yang mayoritas penduduknya bertani.

"Kemiskinan membuat mereka mudah diindoktrinasi. Apalagi, indoktrinasinya melalui sentuhan agama," kata Yusuf.

Jaringan Islam garis keras ini bahkan mampu menyentuh akar basis umat hingga tingkat desa. Mereka pun mampu menghadirkan romantisme beragama dan janji-janji surgawi yang dapat melenakan warga di pedesaan yang miskin untuk bangkit melawan mengatasnamakan agama.

Celakanya, sentuhan terhadap akar basis umat ini gagal dilakukan organisasi sosial keagamaan mapan, seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, bahkan pemerintah sekalipun. Mereka lebih disibukkan dunia politik praktis.

Lebih parahnya lagi, pemerintahan lokal di mata masyarakat cenderung bobrok. Contoh sederhana, bupati, sekretaris daerah, serta sejumlah kepala dinas dan badan di Pemkab Cilacap kini mendekam di tahanan karena kasus korupsi.

"Kepercayaan warga pun semakin rendah kepada pemerintah dan institusi politik. Mereka pun lebih percaya kepada sebuah keyakinan baru yang membangkitkan romantisme," ungkap Yusuf.

Kondisi tersebut diperparah lagi dengan kurangnya pemahaman agama dari sebagian besar warga di pedesaan. Mereka hanya memahami ajaran agama secara parsial dan hafalan. Kelompok teroris pun mudah mengarahkan cara pandang beragama mereka ke arah ekstrem. Pemahaman agama yang tak disertai kearifan sosial.  

Permisif

Kepala Kepolisian Wilayah Banyumas Komisaris Besar M Gufron menambahkan, tumbuh suburnya jaringan terorisme di Cilacap tak lepas dari karekter masyarakat setempat yang permisif dan terbuka. Keramahan sosial dan keterbukaan itu dimanfaatkan jaringan teroris untuk tumbuh berkembang.

"Karakter yang permisif itu membuat warga tak curiga dengan aktivitas teroris. Dengan mudah, jaringan teroris pun tumbuh," tutur dia.

Jaringan teroris itu sepertinya sadar, secara psikologis warga menghormati mereka sebagai ustad. Terlebih, secara ekonomi umumnya anggota jaringan teroris ini miskin. Hal itu membangun citra mereka bukan kelompok yang berdaya untuk melakukan tindak berbahaya.

Saat kelompok teroris itu menunjukkan wajah aslinya dengan serangkaian teror mengerikan, pemerintah dan aparat keamanan pun kembali tergopoh-gopoh memadamkan. Namun, persoalan utama berkembangnya terorisme tetap bertahan bak api dalam sekam. Bila tak waspada, tak tertutup kemungkinan teroris kembali menyalip di tikungan.   

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com