Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pahit-Asam Kopi Robusta Menoreh

Kompas.com - 28/06/2009, 16:40 WIB

Karena dirawat secara organik, kebun tanaman kopi seluas 132 hektare itu sempat menarik minat berbagai pihak untuk meneliti dan mempelajarinya. Tapi , peneliti datang dan pergi tanpa pernah meninggalkan manfaat nyata bagi petani. Petugas penyuluh juga jarang sekali menampakkan wajah di desa ini.

"Kami tetap tidak tahu bagaimana cara meningkatkan produksi buah atau memperbaiki kualitas rasa kopi. Dari dulu sampai saat ini kondisi perkebunan kami hanya seperti ini saja, nyaris tidak ada perubahan," kata Daryanto.

Rata-rata produktivitas kopi di Sidoharjo masih amat rendah, kurang dari 100 kilogram per hektare per tahun. Angka ini amat jauh di bawah rata-rata nasional yang mencapai 600-800 kilogram per hektare per tahun. Karena itulah, petani hanya menjadikan kopi sebagai sumber pendapatan tambahan, seperti ternak kambing.

Hilangnya minat petani untuk serius menggarap perkebunan kopi juga dipicu sulitnya akses terhadap informasi. Kondisi geografis wilayah di Desa Sidoharjo berbukit-bukit dengan lereng terjal. Mayoritas kondisi permukaan jalan berbatu dan belum sepenuhnya diaspal. Desa di ujung barat daya DIY itu seolah terisolasi.

Tidak ada kabel telepon yang mencapai Sidoharjo. Teknologi telepon seluler baru dinikmati warga sejak tiga tahun terakhir, setelah beberapa menara operator komunikasi dibangun di puncak Bukit Menoreh demi memperluas jangkauan layanan. Listrik juga belum genap berusia satu dasawarsa di desa itu.

Keterbatasan akses ini turut menghambat pemasaran kopi. Lebih dari seperempat abad, kopi robusta Sidoharjo hanya dipasarkan di sekitar Kulon Progo. Pardiyo, petani Dusun Nglambur, mengatakan jarang ada pengepul yang bersedia naik ke bukit untuk mengambil kopi warga. Sementara untuk bermitra dengan perusahaan besar, petani tidak sanggup memenuhi target produksi yang tinggi.

Harga jual kopi robusta sendiri cukup menggiurkan. Biji kopi kering laku seharga Rp 11.000 per kilogram. Sementara untuk biji yang sudah disangrai sekitar Rp 35.000 per kilogram. Jika petani mau repot sedikit, mereka bisa meraup untung lebih besar dengan menjual kopi bubuk seharga Rp 50.000-Rp 60.000 per kilogram.

Impian 400 petani kopi di Sidoharjo, jika terjadi perbaikan produksi dan pemasaran kopi, adalah penghidupan yang lebih baik. Sumardi tidak perlu pusing memikirkan harga kebutuhan pokok yang terus naik. Pardiyo ingin membeli selimut pengusir dingin.

Terpisah, Kepala Dinas Pertanian dan Kehutanan Kulon Progo Agus Langgeng Basuki mengatakan persoalan kopi di Sidoharjo amat kompleks. Sehingga solusi harus dilakukan secara lintas sektoral mulai dari perbaikan prasaran jalan, penguatan modal, penyuluhan pertanian, hingga perluasan jangkauan pemasaran.

"Kami melakukannya bertahap. Tahun ini pemerintah daerah akan meningkatkan kualitas jalan dan memberikan bantuan modal Rp 60 juta untuk kelompok usaha bersama. Diharapkan, kelompok membeli hasil panen kopi dari petani dengan harga pantas sehingga petani dapat termotivasi untuk meningkatkan produksi," kata Agus.

Sebagai perkebunan kopi terluas di Kulon Progo, bahkan juga menjadi salah satu yang terbesar di DIY, warga Desa Sidoharjo belum merasakan manfaat ekonomi dari komoditas agraris tersebut. Kehidupan mereka masih saja terasa pahit-pahit asam seperti rasa kopi yang mereka hasilkan. Entah kapan kopi robusta Menoreh akan terasa manis bagi mereka.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com