Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dewo dan Tanaman Sirih Merah dari Merapi

Kompas.com - 14/04/2009, 07:36 WIB

Oleh Idha Saraswati

KOMPAS.com - Memasuki Kampung Blunyahrejo, Kelurahan Karangwaru, Tegalrejo, Kota Yogyakarta, mata kita langsung tertumbuk pada sebuah rumah bambu yang tingginya melebihi rumah-rumah lain di sekitarnya. Pot-pot dengan beraneka tanaman hijau memenuhi ruang-ruang dalam bangunan bertingkat empat yang terbuat dari bambu itu dan tanaman sirih merah mendominasi di sini.

Persentuhan Bambang Sudewo atau Dewo panggilannya dengan sirih merah berawal dari sebuah kebetulan. Suatu pagi pada tahun 2002, pria yang punya hobi mendaki gunung ini tengah berjalan-jalan di lereng Gunung Merapi.

Saat dia berada tidak jauh dari tempat tinggal juru kunci Gunung Merapi, Mbah Maridjan, Dewo tertegun melihat tumbuhan yang dirasakannya aneh. Tanaman itu merambat di sela-sela bebatuan. Rasa penasaran kemudian menuntunnya memetik sehelai daun tumbuhan itu, lalu dikunyahnya. Rasanya, cerita Dewo, sungguh pahit.

Bukannya kecewa, rasa pahit yang dihasilkan daun itu justru membuat Dewo merasa senang. Sebab, berdasarkan pengalamannya sebagai peracik jamu, daun maupun buah yang terasa pahit, seperti brotowali (Tinosporae crispa), bidara upas (Merremia mammosa) maupun mahoni (Swietenia mahagoni jacq), biasanya memiliki khasiat untuk menyembuhkan berbagai macam penyakit.

Dewo yang ketika itu sedang menderita diabetes mellitus mencoba memotong tumbuhan tersebut beserta belasan helai daunnya untuk dibawa pulang. Sebagian dia konsumsi dan sebagian lainnya dia tanam di rumah.

Selama dua minggu dia mengonsumsi daun tersebut, Dewo merasa tekanan darah tinggi dan kolesterol dalam tubuhnya berangsur membaik. Luka-luka melepuh di sekujur tubuh akibat penyakit diabetes juga dirasakan mulai mengering.

Lelaki ini lantas semakin giat mencari informasi seputar tumbuhan tersebut. Dari sumber literatur yang terbatas, Dewo mengetahui bahwa tumbuhan itu selama ini dikenal sebagai sirih merah (Piper betle L var Rubrum).

Selain aroma daunnya yang khas daun sirih, bentuk daun tumbuhan ini memang menyerupai sirih yang biasa kita kenal. Bedanya, permukaan bagian bawah daun sirih ini berwarna merah mengilat. Meski belum secara massal, tanaman ini ternyata telah dimanfaatkan sebagai tanaman obat, terutama di lingkungan Keraton Yogyakarta.

”Tanaman ini mungkin ada di mana-mana, tidak hanya di (Gunung) Merapi, tetapi saya baru melihat yang di lereng Merapi itu,” ungkapnya.

Merasa berjodoh dengan khasiat tumbuhan tersebut, Dewo yang telah membuka perusahaan jamu berskala industri rumahan berlabel Sekar Kedathon, pada tahun 1997 mulai fokus menggali manfaat sirih merah.

Skala besar

Lulusan jurusan Desain Komunikasi Visual, Institut Seni Indonesia Yogyakarta, ini semakin rajin mencari informasi seputar tanaman sirih merah. Sejumlah perpustakaan dan toko buku dia datangi. Ia juga berkonsultasi dengan beberapa pakar tanaman herbal, dokter, sampai budayawan dalam proses mengolah tanaman sirih merah.

Tahun 2004 Dewo mulai memasarkan ramuan teh herbal dari sirih merah. Ia barangkali adalah orang pertama yang mengolah sirih merah sebagai industri herbal. Eksplorasi terhadap manfaat sirih merah itu terus berlanjut sehingga ia bisa menciptakan produk-produk lain dari tanaman tersebut.

Untuk membuat produknya, setiap bulan Dewo memerlukan sekitar lima kuintal daun sirih merah basah. Bahan baku itu diolah menjadi berbagai produk, di antaranya teh herbal celup, teh herbal seduh, berbagai kapsul dari ekstrak sirih merah, sampai teh pelangsing.

Seiring berjalannya waktu, perusahaan herbal milik Dewo berkembang pesat. Jika pada tahun 1997 ia bekerja sendiri, belakangan dia dibantu 25 karyawan.

Produk-produk yang dihasilkan Dewo itu telah mendapat pengesahan dari Badan Pusat Pengawas Obat-obatan dan Makanan. Kini, semua produk Dewo bisa dikatakan sudah tersebar di kota-kota besar di seluruh Indonesia serta diekspor ke Malaysia dan Brunei.

 Kemitraan

Untuk menjamin pasokan bahan baku sirih merah, Dewo menjalin kemitraan dengan para petani di sejumlah daerah, baik di kawasan DI Yogyakarta maupun Jawa Tengah. Tak kurang dari 50 petani yang bekerja sama dengannya.

”Saya tidak punya lahan, jadi lebih baik mengembangkan sistem kerja sama dengan para petani sirih merah,” ujarnya.

Selain menyediakan bibit yang semuanya merupakan keturunan tanaman yang dia bawa dari lereng Gunung Merapi, Dewo juga membeli hasil panen sirih merah dari petani.

Daun sirih merah dengan lebar delapan sentimeter, dia beli dengan harga Rp 120.000 per kilogram. Adapun daun sirih merah super dengan lebar minimal 11 cm dihargai Rp 150.000 per kilogram.

Meski usahanya relatif berhasil, Dewo belum puas. Ia mengaku masih punya berbagai obsesi terkait pengembangan sirih merah. Selama ini sumber literatur tentang sirih merah masih sangat terbatas. Ia berharap ada penelitian lebih lanjut agar segenap potensi tanaman sirih merah bisa bermanfaat bagi masyarakat.

”Alam telah menyediakan segalanya. Masalahnya, bagaimana kita menemukan dan mengolahnya menjadi obat yang bermanfaat bagi kesehatan,” katanya.

Lahan terbatas

Keseriusan Dewo dalam mengolah tanaman sirih merah sebagai tanaman obat bisa dilihat dari rumah bambu miliknya. Kata dia, rumah bambu itu dibangun untuk menyiasati lahan yang terbatas. Dengan bentuk vertikal, dia memiliki banyak ruang untuk membudidayakan bibit sirih merah.

Bibit dari rumah bambu inilah yang kemudian ditanam para petani di ladangnya masing- masing. Beberapa bulan kemudian, bibit-bibit itu akan kembali ke rumah bambu tersebut dalam bentuk lembaran daun sirih merah yang berguna sebagai bahan baku obat herbal. Di rumah bambu Dewo pula, lembar-lembar daun sirih merah itu diolah menjadi beraneka produk obat herbal.

Rumah bambu ini menutupi lahan seluas 1.000 meter persegi. Di lantai satu dan dua, sirih merah yang ditanam dalam pot-pot kecil menjalar ke atas kayu-kayu penopangnya.

Di lantai tiga dan empat rumah itu tersedia meja dan kursi yang biasa dipakai para tamu bersantai sambil menikmati ramuan daun sirih merah.

”Memang sering ada tamu berobat ke sini. Sambil menunggu, para tamu bisa ngisis (mencari angin) sambil melihat tanaman dan menikmati teh sirih merah,” kata Dewo tentang rumah bambunya.

Ruang-ruang dalam rumah bertingkat dari bambu ini dibangun sesuai dengan lingkungan sekitar yang ditumbuhi banyak pohon besar. Sambil duduk menikmati semilir angin di lantai tiga atau lantai empat, para tamu bisa meraih buah asam atau buah sawo yang berada di pohon sekitarnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com