Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bubuhan, Benang Merah Urang Banjar

Kompas.com - 17/02/2009, 08:35 WIB

”Calon yang merupakan ’santri duduk’ dari majelis salaf (pengajian) dan mempunyai kedekatan dengan ulamanya akan lebih mudah meraih pendukung ketimbang santri formal (sekolah agama formal),” kata Apriansyah.

Patron ulama, terutama yang berasal dari ”kaum tuha” (mengacu pada Nahdlatul Ulama), masih sangat dihormati dan dipatuhi sebagian masyarakat Banjar. Hal ini menjawab realitas bahwa hampir semua bupati dan wali kota, termasuk gubernur, yang terpilih melalui pemilihan kepala daerah langsung selalu melalui jalur partai berhaluan Islam, khususnya yang kental bernuansa NU, seperti PPP dan PKB.

Islam vs Nasionalis

Afiliasi keagamaan agaknya tetap menjadi pijakan utama masyakarat Kalsel dalam menetapkan pilihan politiknya. Hal tersebut tecermin dalam hasil pemilihan umum legislatif di bumi Lambung Mangkurat ini. Pada Pemilu 1955, partai politik bernuansa Islam mendominasi lebih dari 82 persen perolehan suara, tersalur pada Partai Nahdlatul Ulama (49,5 persen) dan Masjumi. Parpol berhaluan nasionalis, yaitu PNI, hanya bisa memetik sekitar enam persen suara.

Semasa Orde Baru, Kota Baru adalah lumbung suara Partai Golkar di Kalsel. Perolehan suara parpol tersebut di bumi ”Sa-ijaan” (semufakat, satu hati, dan seia sekata; moto Kota Baru) tak pernah kurang dari 80 persen. Namun, meski secara umum masih memenangi Pemilu 1999 dan 2004 di Kalsel, Partai Golkar tak lagi eksis di ”Banua Lima” yang meliputi Hulu Sungai Selatan, Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Utara, Balangan, dan Tabalong.

Kegairahan memilih parpol bernuansa Islam bangkit kembali selepas hegemoni Partai Golongan Karya yang mendominasi kemenangan pemilu di Kalsel pada tahun 1971-1997. Hal itu tampak dari penurunan suara beringin secara signifikan di beberapa kabupaten yang menjadi basis dukungan parpol itu.

Seperti halnya suara Partai Golkar di Kota Baru. Sejak pemilu multiparpol berlaku kembali pada tahun 1999, perolehan beringin menyusut drastis, hanya mampu meraih kurang dari 36 persen suara. Adapun PPP, yang sebelum era reformasi selalu menempati posisi runner up dalam setiap pemilu, semakin menunjukkan kekuatan politiknya.

Gelombang pembalikan semakin kuat pada pemilu selanjutnya. Pada Pemilu 2004, mayoritas konstituen di lima kabupaten di wilayah ini kembali memilih parpol Islam. Partai Persatuan Pembangunan mengantongi suara cukup banyak di wilayah yang mayoritas dimukimi orang Banjar Pahuluan. Padahal, sepanjang Orde Baru, selain Kota Baru, ”Banua Lima” adalah basis Partai Golkar.

Sejumlah parpol lain bernuansa Islam yang menjadi peserta pemilu pascareformasi juga berbagi suara di 11 kabupaten dan dua kota di Kalsel. Beberapa di antaranya, seperti PKB, PKS, dan PAN, berhasil meraih simpati ratusan ribu konstituen hanya dalam dua kali pemilu. Hal tersebut tak lepas dari pengaruh ”napas keislaman” yang diusung parpol- parpol tersebut.

Walaupun cukup berjaya di Kalsel, tidak semua kabupaten dan kota terpapar haluan politik parpol bernapaskan Islam. Beberapa wilayah yang menjadi pusat keberadaan orang Banjar Kuala, seperti Kabupaten Banjar, Kota Banjarbaru, dan Kota Banjarmasin, menjadi lahan potensial bagi parpol berhaluan nasionalis. Dari pemilu ke pemilu, jumlah pemilih PDI-P di daerah-daerah tersebut cenderung meningkat.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com