Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Pornografi" Dalam Puisi Dharmadi

Kompas.com - 01/12/2008, 23:20 WIB

sebiji beringin/lepas dari mulut kelelawar/jatuh di ceruk batu/tumbuh dalam mainan cuaca (Sebiji Beringin, AMCB, hal 62).

selembar daun mengapung/pada sungai yang mengalir/di sela-sela retak batu/mencari samudera//( Selembar Daun, AMCB, hal 64).

angin merasa bersalah/mengembuskan debu/menempel di jendela-pintu/sanubari//bening kacanya jadi kelabu//angin merasa semakin berdosa/meniup-niup mengobarkan api/membakar yang hidup/bersama matahari//angin menyesali diri/embusannya berhenti//matahari tak peduli/tetap membakar hari//(Musim Kering, Jejak Sajak, hal 21).

kau kosongkan pikir-rasa/dari mimpi-mimpi imitasi;/Kuisikan sejatiKu/sejatimu menjadi (Kesejatian, Jejak Sajak, hal 28).

embun dalam kabut dengan langkah lembut/diam-diam setia mengirim hidup pada awal hari/yang beranjak berangkat menyusuri/jalan waktu//selalu ada yang tak dapat lagi/ikut menyambut//lebih dulu telah Kau jemput// (Embun, Jejak Sajak, hal 38).

setia kau kirim subuh-mu/di kabut pagi membasuh/debu kalbu//aku dalam selimut// (Langit, Jejak Sajak, hal 39).

bulan pucat;/dengan hati kecut/sesaat mencangkung di bibir/jendela langit, menatap bumi//tak didengarnya lagi tetabuhan dan bunyi-bunyi/untuk mengusir sepi dan menakut-nakuti/sang waktu agar tak membuntutui//orang-orang tak lagi peduli/telah jatuh cinta pada cahaya imitasi//sebatang kara bulan berjalan sendiri/dalam remang meraba-raba hari/bumi menabir jalan cahaya matahari/waktu terus membuntuti//bulan menerima kodrat;/mati perlahan, disayat-sayat sang waktu//kau raba lukaku// (Gerhana Bulan, Jejak Sajak, hal 44).

Di tengah-tengah saya sedang menikmati puisi Dharmadi, suatu ketika, saya menerima pesan pendeknya,”Mbak Rukmi, ketika buku saya dibicarakan di salah satu acara apresiasi di salah satu kota, ada yang mengatakan, beberapa puisi saya porno”.
Coba kita nikmati bersama salah satu puisinya, yang dikesankan porno  itu:
ketika sesekali naik bus transjakarta; //mata lelakiku kadang iseng atau tak sengaja menatap payudara/di dada pernumpang perempuan yang mengintip lewat model pakaiannya,/
ah, betapa subur dan indahnya;/lava gairahku mengalir begitu saja, ingat masa kecil ingin kembali/menetek susu ibu,/mencecap rasa nikmatnya sambil memainkan putingnya/kadang dengan jemari atau mulut lembutku dalam hangat dekapan di gendongan.//
ketika sesekali naik bus transjakarta; //mata lelakiku yang kadang iseng atau tak sengaja menatap pusar di perut penumpang perempuan yang nongol lewat model pakainnya,/ingat pada plasentaku yang dulu di dinding rahim ibu// dan pikiranku terus melayang, membayang lubang di bawah/pusar penumpang perempuan ketika menatap bagian celana dalamnya/yang sedikit nampak lewat pakaiannya;ingat lubang/di bawah pusar ibu yang terlindung sepasang pangkal tiang paha,/jalan awal kumemandang dunia.//(Ketika Naik Bus Transjakarta, Jejak sajak, hal 42).
Puisi tersebut, yang ditulis dengan bahasa tubuh, kalau dibaca dengan kacamata tekstual memang terkesan porno. Tetapi, benarkah puisi itu porno?

Puisi adalah bahasa multi persepsi, tergantung siapa yang membacanya. Seperti Serat Centhini, betapa absurd pornonya kalau dibaca dengan kacamata tekstual. Tapi menjadi beda kalau membacanya dengan kacamata hakikat.
Porno tidaknya sebuah puisi harus dikaji dari isinya secara keseluruhan. Belum tentu puisi yang ditulis dengan bahasa tubuh itu menyiratkan hal yang porno, begitu juga sebaliknya.

Membaca puisi Ketika Naik Bus Transjakarta, saya menangkap, Dharmadi sebagai laki-laki, sangat jujur dalam mengungkapkan kekagumannya terhadap lawan jenis dan tak segan-segan menyampaikan secara terbuka tentang keindahan obyek puisinya.
Tetapi, apakah hanya sebatas keterkaguman Dharmadi pada wanita, sehingga ia menulis Ketika Naik Bus Transjakarta?
Kenyataan, mode pakaian wanita berkembang sedemikian pesatnya, untuk mengekspresikan keindahan tubuh wanita, sampai ada yang memperlihatkan bagian-bagian tertentu pada tubuh wanita yang memakainya, dan dianggap bisa merangsang nafsu sahwat yang melihatnya.
Lalu, apakah mode pakaian seperti itu mesti dilarang, dianggap porno, karena dianggap bisa merangsang nafsu sahwat (laki-laki) yang melihatnya?

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com