Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Babakan Siliwangi dari Sisi RTRW 2004

Kompas.com - 06/11/2008, 15:57 WIB

Oleh David Bambang Soediono

Rencana pembangunan rumah makan di Babakan Siliwangi telah meletakkan secara diametral Pemerintah Kota Bandung dan pengembang yang bersikukuh melanjutkan pembangunan ini di satu sisi dengan pelbagai elemen masyarakat yang menolak di sisi lain.

Protes berbagai elemen masyarakat dimanifestasikan dalam tulisan di media massa, aksi unjuk rasa, aksi penanaman pohon, dan diskusi. Salah satu diskusi diselenggarakan pada Jumat (10/10) malam oleh Forum Antarkampus dan Jaga Lembur. Diskusi ini menghadirkan jajaran Pemkot yang dipimpin Dada Rosada selaku Wali Kota Bandung, didampingi Wakil Wali Kota Ayi Vivananda, tokoh Kota Bandung, tokoh Jawa Barat, dan aktivis lingkungan hidup.

Sayang sekali pertemuan ini tidak dihadiri pengembang tanpa pemberitahuan sehingga menimbulkan kekecewaan mendalam bagi hadirin yang sebenarnya ingin melihat dan mendengar langsung presentasi pengembang. Selain memperkuat kesan bahwa rencana ini tidak transparan, ketidakhadiran pengembang juga memperlihatkan keengganannya berdialog dengan publik sampai pada penilaian bahwa pengembang tidak menghargai forum diskusi ini.

Banyak sekali tanggapan yang dikemukakan hadirin. Intinya, semua menolak rencana pembangunan rumah makan di Babakan Siliwangi yang melibatkan pengembang. Semua penolakan didasarkan pada pijakan yang sama, yaitu isu lingkungan hidup.

Tulisan ini mencoba mengkaji rencana pembangunan rumah makan di Babakan Siliwangi dari sisi peraturan tata ruang yang saat ini sedang berlaku, yaitu Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2004 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Bandung yang berlaku pada 2004-2013.

Tiga wilayah

Berdasarkan berbagai pertimbangan, antara lain pemerataan pembangunan wilayah dan pengendalian kualitas lingkungan, RTRW membagi wilayah Kota Bandung menjadi tiga dengan kebijakan arah pengembangan pemanfaatan ruang, yaitu mengarahkan perkembangan kota ke wilayah Bandung timur, mengendalikan perkembangan kota di wilayah Bandung barat, dan membatasi pembangunan di wilayah Bandung utara.

RTRW juga mengatur kebijakan pola pemanfaatan ruang yang mengategorikan setiap wilayah di Kota Bandung dalam kawasan lindung atau kawasan budidaya. Kawasan lindung selanjutnya diuraikan lagi menjadi:

"Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan di bawahnya

"Kawasan perlindungan setempat (ruang terbuka hijau), antara lain jalur sempadan sungai, jalur sempadan jalan dan jalan kereta api, kawasan sekitar danau/situ, dan kawasan sekitar mata air

"Kawasan pelestarian alam (taman wisata alam)

"Kawasan cagar budaya

"Kawasan rawan bencana

Peta topografi menunjukkan bahwa permukaan tanah terendah di Babakan Siliwangi berada pada ketinggian lebih dari 750 meter di atas permukaan laut, yang dalam peta RTRW dinyatakan sebagai wilayah Bandung utara, sehingga pembangunannya harus dibatasi. Artinya, harus ada kepekaan bahwa mengembangkan sesuatu di kawasan Bandung utara tidak leluasa. Ditemukannya 12 mata air di kawasan Babakan Siliwangi serta-merta menjadikan kawasan ini berstatus kawasan lindung.

Tabel 2 lampiran nomor 2 RTRW pun secara eksplisit dan jelas menyatakan Kelurahan Lebak Siliwangi dan Lebakgede, Kecamatan Coblong, berada di kawasan lindung.

Lalu, apa amanat selanjutnya dari RTRW untuk menangani kawasan lindung? RTRW secara ketat memberikan kesempatan membangun hanya untuk sarana dan prasarana vital (nonkomersial) dengan batas luas maksimal tutupan tanah (footprint) 2 persen dan tidak dimungkinkan membangun bangunan bertingkat (KLB maksimal 0,02). Apakah rumah makan yang akan dibangun tergolong sarana vital? Tentu kita bisa langsung sepakat menjawab: bukan.

Selanjutnya, mari kita kaji hitungan luas dari rencana rumah makan ini. Di atas lahan 3,8 hektar akan dibangun rumah makan dan fasilitas lain seluas 2.197 meter persegi ditambah dengan lahan parkir/jalan seluas 5.179 meter persegi. Dengan demikian, luas terbangun akan mencapai 7.376 meter persegi atau 19 persen dari 3,8 hektar. Angka ini terpaut sangat jauh dari luas maksimal 2 persen yang diizinkan, yaitu 760 meter persegi. Proporsi 2.197 meter persegi luas rumah makan dan fasilitas lain dengan 5.179 meter persegi luas parkir/jalan terasa janggal karena luas parkir/jalan mencapai 235 persen dari luas kegiatan intinya. Padahal, menurut standar hitungan yang selama ini dianut Pemkot, luas lahan parkir cukup 440 meter persegi.

Di salah satu surat kabar diberitakan bahwa pihak pengembang sempat mengajak Institut Teknologi Bandung untuk bekerja sama membangun bangunan parkir tiga lantai yang jelas merupakan penyimpangan dari RTRW.

Menyimpang

Dilihat dari kajian tersebut, tampak bahwa rencana pembangunan rumah makan di Babakan Siliwangi ternyata menyimpang dari isi dan semangat yang terkandung dalam RTRW.

Lalu, bagaimana dengan rencana Pemkot yang akan merevisi RTRW pada tahun 2009? Sebab, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang mengamanatkan RTH harus mencapai 30 persen, sementara RTRW hanya mensyaratkan 10 persen. Rasanya rencana Pemkot ini perlu dipercepat sehingga pembangunan kota bisa lebih ramah lingkungan dan punya pijakan kepastian hukum.

Secara singkat tulisan ini juga akan sedikit mengupas rencana pembangunan di Babakan Siliwangi ditinjau dari sisi logika sederhana karena ada yang kurang pas. Mari kita telaah, kalau biaya pembuatan dan perawatan hutan kota selama 20 tahun di Babakan Siliwangi dinilai terlalu mahal untuk dibiayai Pemkot sehingga perlu menggandeng pengembang, pertanyaannya adalah, berapa sebenarnya untung yang dapat diraih dari usaha rumah makan di tengah begitu ketatnya persaingan usaha sejenis di Bandung? Lagi pula, sebagian keuntungan itu masih harus disisihkan untuk pembuatan dan perawatan hutan kota.

Jika biaya pembuatan dan perawatan hutan kota tidak besar, sewajarnya biaya tersebut dipikul Pemkot sendiri melalui APBD Kota Bandung tanpa harus membebankannya kepada pihak lain yang tentu akan menuntut kompensasi. Kejanggalan ini perlu dijelaskan supaya masalah ini bisa dipahami secara utuh oleh masyarakat Bandung sehingga polemik Babakan Siliwangi tidak terlalu lama menyita energi kita.

DAVID BAMBANG SOEDIONO Arsitek; Anggota Bandung Heritage dan Green Community; Pengamat Kota Bandung

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com