Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Istri Wiji Thukul tak Curigai Soeharto (2-Habis)

Kompas.com - 19/01/2008, 02:57 WIB

LAPORAN WARTAWAN SURYA, JUNIANTO SETYADI

NAMA-nama anak Wiji Thukul memang khas, dan berbau militan. Misalnya, nama si bungsu, Fitri Nganthi Wani. Jika diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia berarti "Fitri menggandeng keberanian".

"PERASAAN saya tentu saja sakit dengan hilangnya Thukul yang menjadi korban Orba. Apalagi setelah dia hilang pun saya masih sempat direpotkan oleh hal-hal yang tidak perlu. Misalnya, dipanggil ke kantor Koramil," kata Sipon.

Selain itu, Sipon mengaku kesulitan mencari nafkah, khususnya sejak sekitar dua bulan setelah Presiden Megawati tak lagi berkuasa Oktober 2004 silam. Menurutnya, beberapa pedagang pakaian di Pasar Klewer kala itu tak lagi mau menerima pasokan pakaian anak-anak, hasil karyanya.

Sejak lama Sipon memang menghidupi keluarga dengan membuat usaha konveksi kecil-kecilan, dibantu oleh empat tetangga. Dia melempar hasil konveksinya ke Pasar Klewer. Saya pernah bertemu Sipon di Pasar Klewer, tahun 2000 silam.

“Waktu itu pedagang yang biasa membeli dagangan saya mengatakan tak berani lagi membeli, karena diancam orang. Mereka ditakut-takuti supaya tak membeli pakaian buatan saya,” paparnya.

Kalaupun para pedagang di Pasar Klewer bersedia membeli hasil konveksi Sipon, mereka mau membayar dengan harga sangat murah. "Misalnya, satu baju yang biasanya dibayar Rp 6.000, mau dibayar Rp 1.500. Tentu saja saya nggak mau," kenang wanita kelahiran Kampung Kalangan.

Berbagai kesulitan hidup tersebut merupakan bukti bahwa lenyapnya Thukul sebagai korban Orba, sangat berpengaruh terhadap kehidupan Sipon dan dua anaknya. Meski begitu, Sipon tak mau membabi buta menuding mantan Presiden Soeharto di balik hilangnya Thukul.

"Soeharto memang pimpinan Orba, tapi Orba kan bukan hanya Soeharto. Siapa tahu ada perintah menghilangkan suami saya itu bukan dari Soeharto, tapi dari orang
lain,” papar Sipon yang kini kerap tampil di berbagai forum untuk memberikan kesaksian atas hilangnya Thukul sebagai salah satu korban Orde Baru.

Sedangkan mengenai pro-kontra tentang Soeharto harus dimaafkan tanpa diadili, atau diselesaikan dulu persoalan hukumnya baru dibicarakan soal maaf-memaafkan, Sipon berpendapat seharusnya hukum didahulukan. “Indonesia ini negara hukum,  maka untuk membuktikan seseorang bersalah atau tidak ya.. harus melalui jalur hukum,” tegasnya.

Selain banyak bicara tentang Thukul, Soeharto, Orba dan berbagai hal menyangkut demokratisasi, Sipon juga berkisah tentang anak-anaknya. Termasuk, rencananya
membayar biaya kos si sulung Wani yang harus dibayar Jumat (18/1) kemarin.

"Jam empat sore nanti saya dan Wani akan ke Jogja naik Kereta Api Prameks. Saya mau bayar kos Wani di dekat kampusnya di daerah Mrican. Biaya kos Wani setahun Rp 1,8 juta," paparnya.

Uang Rp 1,8 juta bagi Sipon tidak sedikit. Sebab, setelah para pelanggannya di Pasar Klewer tak mau lagi membeli pakaian hasil konfeksinya, Sipon harus mencari berbagai acara untuk menyambung hidup. Antara lain, menawarkan hasil konfeksinya door to door, termasuk ke sekolah-sekolah.

"Saya sering cari utangan ke ‘bank plecit’ (rentenir yang setiap hari atau setiap beberapa hari datang ke rumah ‘nasabah’ dengan bunga relatif tinggi, red). Mau apalagi, lha wong memang terpaksa karena nggak punya uang,” pungkas Sipon, kemudian tertawa seolah tanpa beban….

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com