SUMBAWA, KOMPAS.com- Asa EE (29) memperbaiki perekonomian keluarga, berubah menjadi derita setelah dia menjadi salah satu korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO)
Tenaga Kerja Indonesia (TKI) asal Kelurahan Pekat, Kecamatan Sumbawa, Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat tersebut mulanya merantau untuk mengharapkan kehidupan yang lebih baik.
Mimpi EE sederhana, ia ingin anaknya mendapatkan pendidikan tinggi.
Baca juga: Pengakuan Pelaku TPPO di Dumai, Kirim Satu Orang Diberi Upah Rp 100.000
"Suami saya buruh bangunan kerjanya serabutan, jadi ingin bantu agar ekonomi keluarga lebih baik," kata EE pada Kompas.com, Sabtu (10/6/2023).
Dengan penghasilan suaminya yang masih jauh di bawah standar. Ia memberanikan diri menerima ajakan dari sponsor lokal untuk menjadi TKI.
EE tidak tahu jika diberangkatkan secara unprosedural atau ilegal. Ia berangkat pada November 2022.
Sebelum berangkat dari kampung halaman, ia diberikan uang saku sebesar 6 juta oleh sponsor, sedangkan temannya HER (37) Rp 5 juta.
Dari uang itu, EE menyisihkannya untuk uang jajan anak dan biaya hidup suaminya.
Sedangkan sisanya ia bawa sebagai pegangan jika ingin membeli sesuatu di perjalanan.
Baca juga: Tipu Muslihat Tersangka TPPO di Subang, Janjikan Gaji Besar dan Bonus
Bersama teman-temannya, ia sempat berada di penampungan Subang selama 1,5 bulan.
"Saya kemarin minta ke Arab Saudi. Tapi penerbangan melalui Bandara Turki," katanya.
EE mengaku saat itu dirinya belum curiga.
Dari bandara Turki, perjalanan jalur darat ditempuh lebih jauh lagi. Setelah tiga hari, ia baru mengetahui telah sampai di kota Airbil, Irak.
"Teman saya yang kasih tahu. Waktu tiba di Irak ponsel disita agensi. Saya mau komplain, majikan pukul saya. Agensi juga pukul saya," kata EE.
Baca juga: Ungkap Kasus Perdagangan Orang sebagai Pekerja Migran, Polda NTB Tangkap 6 Pelaku
Saat bekerja di rumah majikan, ia kerap dipukul karena alasan sepele. Kadang karena masakan tidak enak, atau karena salah meletakkan barang.
EE pun memilih kabur dari rumah majikannya ke kantor agensi. Namun ternyata, harapan untuk mendapatkan pertolongan tak kunjung didapatkan.
Agensi memindahkannya ke rumah majikan yang kedua. Majikannya kali ini tidak memberinya makanan secara layak.
EE sering kelaparan. Saat makan siang, ia tidak mendapat jatah makanan.
Ia baru akan diberikan roti saat makan malam. Padahal sambungnya, ia sudah bekerja dengan baik. Ia kemudian balik ke kantor agensi dan minta pindah majikan atau dipulangkan saja.
"Pihak agensi meminta saya bekerja lagi ke rumah majikan yang lain selama tiga bulan, agar dapat beli tiket pulang ke Indonesia," keluh EE.
EE tidak tahan lagi dengan pihak agensi. Setiap meminta pindah majikan, agensi selalu memukul. Bahkan mereka mengurung EE selama satu bulan.