Uniknya, dari berbagai lukisan pemimpin Indonesia, gedung ini hanya memajang empat presiden, yakni Soekarno, Soeharto, BJ Habibie, dan KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Hal tersebut dikarenakan sang bupati mengaku paling terinspirasi dari keempat sosok itu.
Soekarno, lanjut Dedi, merupakan sosok yang memiliki gagasan ideologis dengan kemampuan retoris yang luar biasa.
"Dia itu pemikir, penulis, bahkan orator, sehingga tumbuh pada zamannya menjadi seseorang yang mampu memotivasi bagi seluruh masyarakat untuk melawan koloinalisme," terangnya.
Lain halnya Soeharto. Presiden kedua Indonesia ini dianggapnya merupakan sosok administratur yang mampu mengontrol negara. Dia mampu mengatur dari pusat kekuasaan hingga ujung kekuasaan, dari presiden sampai RT menjadi satu kesatuan sistem.
Sementara BJ Habibie, bagi Dedi, adalah sosok nasionalis visioner teknokrat yang memiliki semangat keindonesiaan luar biasa. Dari Pare-Pare hingga ke Jerman, namun Habibie sangat Indonesia. Habibie pun berhasil menyelamatkan Indonesia dari krisis.
"Kecepatan dalam berpikir, kecepatan dalam mengambil keputusan. Visi otonomi Habibie itu keren. Visi negara yang kuat. Cocok untuk melakukan perubahan di Indonesia dalam waktu cepat," sebutnya.
Terakhir adalah Gus Dur. Dedi menilai tokoh besar Nahdatul Ulama (NU) itu merupakan peletak dasar pluralisme kebangsaan yang meletakkan agama pada fundamental kebangsaan secara luas.
Gus Dur juga berhasil membuat logika publik menjadi terbalik. Pemahaman-pemahaman baru dari dirinya ini baru bisa dirasakan beberapa tahun kemudian.
"Memimpin Indonesia harus memiliki hal tersebut," terangnya.
Dalam filosofis Sunda, menurut Dedi, seorang pemimpin harus bisa ngurus bumi, ngapak mega, leumpang na luhur cai. Artinya, harus masuk pada kedalaman bumi yang dimiliki masyarakat, mengerti kekayaan alamnya.
"Pemimpin juga harus bisa terbang. Artinya, dia bisa melihat masyarakat dari jauh dan dekat dan berjalan di atas kepentingan semua golongan," ucap Dedi.
RENI SUSANTI/KONTRIBUTOR PURWAKARTA