Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Gubernur Aceh Didesak Tolak Dana Aspirasi Dewan

Kompas.com - 06/01/2013, 17:46 WIB
Mohamad Burhanudin

Penulis

BANDA ACEH, KOMPAS.com - Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) mendesak Gubernur Aceh untuk tidak menyetujui dan mengalokasikan dana dan program aspirasi bagi 69 anggota DPR Aceh. Dana dan program aspirasi tersebut berpeluang menjadi lahan korupsi politik.

Koordinator Bidang Advokasi Kebijakan Publik MaTA, M Hafidh, Minggu (6/1/2012) di Banda Aceh, mengungkapkan, dana aspirasi hanya akan dimanfaatkan oleh para anggota DPR Aceh untuk pencitraan menjelang Pemilihan Umum (Pemilu ) 2014, serta mengisi kantong-kantong kampanye partai politik kedepan.

Karena itu, Gubernur Aceh selaku pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan provinsi itu, harus tegas untuk tidak menyetujui dana ini. "Ketegasan tersebut akan menjadi bukti awal bahwa Gubernur Aceh benar-benar berkomitmen dalam upaya pemberantasan korupsi," kata Hafidh.

Penolakan itu akan sejalan dengan komitmen awal Gubernur Aceh menggandeng Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), untuk melakukan upaya-upaya pencegahan korupsi di Aceh.

MaTA juga meminta Gubernur Aceh untuk menginstruksi bupati dan wali kota, agar membatalkan pengalokasian dana dan program aspirasi tersebut di masing-masing kabupaten dan kota.

Berdasarkan catatan MaTA, sejak digulirkannya dana dan program aspirasi banyak persoalan muncul. Pertama, dana aspirasi menyuburkan calo anggaran.

Anggota DPR Aceh tak ubahnya menjadi calo anggaran yang legal bagi daerah pemilihannya. Masyarakat dari daerah pemilihan berlomba-l omba membuat proposal dan melobi anggota dewan dari daerah pemili hannya untuk memperoleh dana aspirasi. Hanya segelintir orang yang memiliki koneksi dengan anggota dewan, yang dapat memperlancar proses pengurusan dana aspirasi tersebut .  

Kemudian, adanya fee kepada calo-calo yang melakukan pengurusan tersebut. Besarnya dana aspirasi akan sangat ditentukan oleh kekuatan lobi dan akses para konstituen dae rah pemilihan terhadap anggota dewan.

Kedua, dana aspirasi memperbesar jurang kemiskinan antardaerah. Alasan pengalokasian dana aspirasi untuk memeratakan anggaran juga tidak masuk akal. Kenyataanya, program ini justru memperlebar jurang kemiskinan antar daerah, karena anggaran hanya terpusat pada daerah-daerah yang banyak penduduknya ( sesuai dengan proporsionalitas penentuan dapil) dibandingkan dengan daerah yang miskin.  

Selain itu, dana aspirasi juga menimbulkan kesenjangan di tingkat masyarakat. "Hanya orang-orang tertentu yang memiliki koneksi dengan anggota dewan yang dapat mengakses dana aspirasi tersebut," lanjut Hafidh.

Ketiga, dana as pirasi mengacaukan sistem perencanaan penganggaran. Jika pemerintah Aceh terus mengalokasikan dana aspirasi bagi dewan, justru akan melemahkan sistem perencanaan pembangunan yang selama ini dijalankan melalui mekanisme musrenbang. Padahal, dalam mekanisme musrenbang itulah semestinya seluruh program pembangunan dari hasil masukan masyarakat tercakup.

Keempat, dana aspirasi tak sesuai dengan sistem anggaran berbasis kinerja. Sejak tahun 2003 Indonesia memiliki UU No 17 tahun 2003 tentang Keuanan Negara, yang telah mengubah paradigma penganggaran dari sistem tradisional yang berorientasi pada input atau anggaran menjadi anggaran berbasis kinerja.

Anggaran berbasis kinerja yang dimandatkan dalam UU ini adalah anggaran yang mengutamakan upaya pencapaianhasil kerja atau output dari alokasi biaya atau inpu t yang ditetapkan. Dengan adanya dana aspirasi yang dibagi rata menurut daerah pemilihan, jelas bahwa anggota DPRA masih menggunakan paradigma lama yaitu anggaran yang hanya pada sekadar menghabiskan anggaran tanpa melihat kinerja yang akan dicapai.

Selain itu, MaTA juga melihat, dana aspirasi tak memiliki landasan hukum. Selain itu, DPR Aceh juga tidak memiliki hak budget. Anggota dewan yang seharusnya mengawasi anggaran rakyat yang dikelola eksekutif, namun kini malah ikut mengelola dana APBD.

Mengelola di sini tidak hanya memegang uang, namun menentukan penerima dan lokasi dana dikucurkan juga merupakan bagian dari pengelolaan anggaran. "Di sini semakin jelas bahwa anggota dewan selaku legislatif telah mengambil peran-peran eksekutif," lanjut Hafidh.

Dalam kesempatan tersebut, MaTA juga meminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengadakan audir khusus terhadap proyek-proyek yang didanai dengan dana aspirasi anggota dewan di Aceh. Audit khusus ini dirasa penting, untuk melihat transparansi dan akuntabilas pengelolaan anggaran daerah. Selama ini banyak dana aspirasi yang disinyalir disalurkan kepada lembaga-lembaga fiktif, dan penyalurannya yang tidak tepat sasaran.

 

 

 

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com