Dinamika aksi dan gejolak perburuhan tersebut dianggap oleh asosiasi pengusaha sebagai sesuatu yang dapat memprovokasi investor untuk merelokasi investasi mereka ke luar negeri. Sementara bagi kalangan buruh, gejolak yang terjadi adalah puncak aspirasi mereka untuk memperjuangkan penghapusan pekerja alih daya (outsourcing) dan upah murah yang dianggap merugikan hak mereka akan kepastian kerja dan hidup layak.
Fenomena gejolak aksi-aksi perburuhan saat ini terjadi bersamaan dengan tren pertumbuhan ekonomi secara nasional, yang beberapa tahun terakhir cukup tinggi (sekitar 6 persen) di tengah situasi krisis ekonomi global. Gejolak perburuhan secara perlahan, tetapi pasti turut meletup pada era Orde Baru, khususnya 1990-an, dengan berbagai aksi pemogokan berskala kawasan hingga tingkat kota.
Pertumbuhan ekonomi kita tak disertai pemerataan kesejahteraan. Ketidaksetaraan antar-lapisan sosial cukup mencolok, seperti dikomentari peraih Nobel Ekonomi 2007, Erik Maskin. Dalam kunjungannya ke Indonesia, Maskin menyoroti nasib buruh di kelas terbawah yang mengalami tekanan persaingan pasar tenaga kerja yang sangat kompetitif.
Sistem kerja kontrak alih daya dan politik upah murah adalah karakteristik umum yang dikesankan jadi prasyarat keunggulan dan pertumbuhan dalam relasi kita dengan globalisasi.
Padahal, bila kita kembali ke observasi Maskin—juga oleh Kaushik Basu, guru besar ekonomi asal Cornell—justru ditemukan, globalisasi adalah salah satu penyebab ketimpangan kesejahteraan. Terutama di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, karena menaikkan pendapatan rata-rata, tetapi menimbulkan masalah distribusi pendapatan.
Latar dari pertumbuhan yang menghasilkan kesenjangan dan juga fondasi dari gejolak perburuhan dewasa ini ada di tingkat lokal. Kompetisi di pasar tenaga kerja berlangsung dalam konteks desentralisasi sebagai model kekuasaan yang diterapkan dalam hubungan antara pemerintah pusat dan daerah pada masa pasca-otoriterisme.
Akibatnya, keterlibatan negara didorong agar ”berkurang” dalam politik perburuhan, dengan melimpahkan tanggung jawab untuk membereskan konflik yang selalu terjadi dalam hubungan industrial kepada pemerintah lokal. Struktur kesempatan politik yang tersedia saat ini memberikan ruang bagi mobilisasi lebih leluasa buruh untuk berpolitik menggunakan metode bersifat direct action.