Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Masyarakat Adat dan Perjuangan Tanah-Airnya

Kompas.com - 11/06/2012, 03:57 WIB

Oleh Noer Fauzi Rachman

Beberapa waktu lalu, di Tobelo, Halmahera Utara, berlangsung Kongres Masyarakat Adat Nusantara IV.

Masyarakat adat dari berbagai penjuru Nusantara yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Adat Nusantara berkumpul, berdiskusi, bersidang membahas berbagai permasalahan yang dihadapi. Mereka menuntut negara mengakui eksistensi masyarakat adat dan memastikan hak-hak dasar keberlanjutannya, satu hal yang telah dijamin konstitusi.

Masyarakat adat punya karakteristik khusus sebagai kelompok penduduk pedesaan-pedalaman. Mereka hidup dalam suatu wilayah secara turun-temurun dan terus-menerus, dengan sistem kebudayaan dan aturan-aturan adat khas yang mengikat hubungan sosial di antara berbagai kelompok sosial di dalamnya. Selain ditentukan oleh cara masyarakat adat itu mengidentifikasi diri, mereka juga diikat melalui cara pihak-pihak lain, terutama negara dan perangkatnya.

Berjuang untuk pengakuan

Sejak pembentukannya pada 1999, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) telah mengakhiri perjuangan diam-diam dari masyarakat adat dan tampil secara terbuka dengan cara bergerak yang high profile. Perjuangan itu dijiwai moto: ”Kalau negara tak mengakui kami, kami pun tak akan mengakui negara”.

Tuntutan AMAN untuk diakui perlahan mewujud dalam gerak perjuangannya. AMAN berhasil mengangkat wacana adat, hukum adat, dan masyarakat adat.

Hal ini terlihat ketika, misalnya, para pejabat di Kementerian Kehutanan menyadari upaya AMAN mengadvokasi kedudukan dan hubungan masyarakat adat dengan kawasan hutannya sepanjang berlakunya UU No 41/1999 tentang Kehutanan. Termasuk advokasi melalui pembuatan draf Peraturan Menteri Kehutanan tentang Hutan Adat. Tuntutan AMAN juga menuai hasil ketika Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional mengeluarkan Permenag No 5/1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.

Komunitas dan organisasi adat anggota AMAN juga berjuang di desa. Mereka melakukan klaim, baik melalui pendudukan kembali dan aksi-aksi konfrontasi langsung lainnya maupun negosiasi untuk mengambil kembali tanah dan kekayaan alam di wilayah yang dipersengketakan dengan badan-badan usaha produksi maupun konservasi. Ketika pemerintah mengimplementasikan kebijakan desentralisasi, di sejumlah kabupaten mulai dari Aceh, Tapanuli Utara, Solok, Liwa, Kutai, Sanggau, Solok, Paser, Donggala, Toraja, Lombok Utara, hingga ke Papua, kita saksikan perjuangan pengakuan eksistensi lembaga adat dan wilayah adat. Di antaranya lewat pembentukan peraturan-peraturan daerah.

Perjuangan itu bukan hanya dilakukan oleh dan untuk kepentingan komunitas, juga oleh dan untuk kepentingan elite-elite penguasa-tradisional kesultanan. Pada periode ini, menjadi jelas bahwa legitimasi adat memang dapat diandalkan dan memperoleh ruang yang luas untuk dijadikan dasar klaim dalam memperoleh kekuasaan, terutama tanah dan kedudukan politik.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com