Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menjadi Perempuan Tunarungu Tanpa Batas

Kompas.com - 21/12/2011, 14:08 WIB

KOMPAS.com - Di Usia muda, Angkie Yudistia, perempuan 24 tahun kelahiran Medan, 12 Juni ini punya banyak pencapaian dalam hidupnya. Ia terus memotivasi dirinya mewujudkan impian tanpa batas menaklukkan keterbatasan.

Angkie berhasil menyelesaikan S2 Marketing Communication di London School of Public Relations Jakarta. Pernah menjadi finalis Abang None 2008 Jakarta Barat. Ia juga terpilih sebagai The Most Fearless Female Cosmopolitan 2008. Juga menjadi Miss Congeniality Nature-e. Kini, Angkie berkarier sebagai Corporate Public Relations, mendirikan Thisable Enterprise, dan menerbitkan buku perdananya berjudul Perempuan Tuna Rungu Menembus Batas.  

Prestasi ini mungkin saja dimiliki siapa saja. Namun menjadi lebih istimewa ketika mereka yang memiliki keterbatasan fisik, mampu mewujudkan impian dengan tindakan. Mampu berprestasi, sekaligus menunjukkan bahwa harapan yang dikuatkan dengan motivasi dan tindakan dapat menjadikan seseorang tampil setara, tanpa batas. Angkie Yudistia membuktikannya.

Perempuan tunarungu

Angkie, anak bungsu dari dua bersaudara, terlahir sama seperti anak pada umumnya. Ia pun tumbuh besar sama seperti anak-anak seusianya. Tak ada yang berbeda dari Angkie sejak ia bayi hingga usia 10 tahun.

Pada usia 10 inilah, Angkie kemudian merasa menjadi berbeda lantaran diperlakukan tak sama, karena ada gangguan pada pendengarannya.  

"Saya sering dimarahi guru karena dianggap tak mendengarkannya. Saya juga diledek teman karena dianggap lemot. Saya sering pulang ke rumah dan menangis di kamar, dengan ibu saya yang selalu menemani dan menenangkan," kata Angkie mengisahkan pengalamannya, saat peluncuran buku perdananya di Ciputra World Marketing Gallery, Jakarta, Selasa (20/12/2011) lalu.

Kepada Kompas Female, Indriarty Kaharman, ibu dari Angkie, menjelaskan, Angkie mulai merasakan gangguan di telinga pada usia 10 saat tinggal di Indonesia Timur. Ayah Angkie bekerja pada perusahaan BUMN yang mengharuskan keluarganya berpindah setiap dua tahun.

"Saat itu, ketika kami tinggal di Indonesia Timur tak banyak dokter yang bisa mengobati gangguan telinga dan menjelaskan apa penyebabnya. Apakah ada hubungannya dengan penyakit Malaria yang menjadi epidemi di sana atau tidak, saya tidak mendapatkan jawabannya. Akhirnya kami bawa Angkie berobat ke Jakarta, dan Angkie divonis tunarungu," jelas Indriarty seusai peluncuran buku.

Meski perilaku diskriminasi seringkali dialami, Angkie, juga ibunya, merasa ia tak berbeda dengan orang lain pada umumnya. Pola pikir ini mengalir kuat dari orangtuanya, yang kemudian diresapi Angkie hingga dewasa. Ia merasa dirinya tak berbeda, memiliki kesempatan yang sama dengan yang lainnya, hanya saja memang pendengarannya terganggu.

"Telinga kiri Angkie mengalami gangguan 90 persen, telinga kanannya 70 persen. Angkie menggunakan alat bantu dengar yang nyaman baginya sejak usia 15 tahun. Ia mulai belajar bahasa bibir dan isyarat karena semakin bertambah usia, pendengarannya semakin berkurang. Angkie bisa bicara lancar karena ia sempat mengenal bahasa sebelum akhirnya divonis tunarungu," jelas Indriarty.

Tak mengenal batas
Memiliki kemauan keras, punya banyak cita-cita, mudah bergaul, itulah karakter yang didapati dalam diri Angkie, menurut pandangan ibunya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com