Rini Kustiasih
Rumah Thamrin yang dinamai Museum Karya Budaya Sakti Cirebon itu, diakuinya, belum layak disebut museum purbakala. Benda purbakala dan fosil bebatuan disusun seadanya di meja dan di lemari.
Tak terbilang berapa banyak fosil dan benda purbakala yang disimpan di sana. Thamrin menyimpan, antara lain, pecahan gigi badak (rhinocerus), serta tulang jari dan tulang paha sapi purba (bovid).
Sederet dengan fosil-fosil tulang mamalia purba itu, Thamrin memajang fosil jenis kerang atau moluska yang diperkirakan hidup pada zaman Miosen akhir sampai Pliosen awal. Jika ditaksir, fosil moluska yang jumlahnya ratusan itu berusia jutaan tahun. Ia juga menemukan fosil moluska khas perairan Cirebon yang oleh para ahli dinamai Cardium Cheribonensis Ostingh.
”Sejak kecil saya senang benda-benda purbakala. Ayah saya yang tentara sering mengajak masuk-keluar hutan mencari batu hias dan benda kuno untuk disimpan atau sebagian dijual,” kata lelaki dengan 10 anak itu.
Dinding rumahnya juga dipasangi benda-benda bersejarah, selain fosil dan batu. Thamrin, antara lain, memiliki kapak batu berwarna hijau yang halus, mata tombak kerajaan yang masih tajam, sekalipun debu dan karat menyelimuti di sana-sini.
Pria yang gemar membaca itu juga memiliki bola naga dunia, yakni besi bulat seukuran bola voli yang wangi. Meskipun lemari penyimpanan sudah berkali-kali dibuka, aroma harum terus memancar dari benda tersebut.
”Di dalam bola naga dunia ini saya yakini ada batu warna merah delima yang harganya mahal sekali. Akan tetapi, barang ini tidak akan saya jual. Ini konon peninggalan China. Biar saya simpan untuk anak-anak belajar di museum,” ujarnya.
Berbagai benda ”aneh” tersebut dia temukan dalam petualangannya menyibak hutan, sungai, dan lembah di tiga wilayah, yakni Cirebon dan Kuningan, Jawa Barat, serta Brebes, Jawa Tengah. Saat mengelana, Thamrin mengaku hanya berbekal martil, cangkul kecil, dan karung. Biasanya, ia berangkat dini hari dan baru pulang dini hari berikutnya.