Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Siami dan Teror UN

Kompas.com - 21/06/2011, 02:49 WIB

Oleh Lies Marcoes

Ibu Siami nelangsa dan gundah. Anaknya, Alif, telah menjadi bagian dan pelaku tindak kecurangan dalam ujian nasional.

Ia ingin kecurangan itu dibongkar dengan melaporkannya kepada penguasa. Ia tak terima anaknya berlaku curang. Tak disangka, Siami diserbu masyarakat. Pemrotes jengkel atas tindakannya yang bak pahlawan kesiangan. Kisah selanjutnya kita pun tahu. Siami diusir warga, tapi sekaligus menjadi bintang baru. Ia menjadi bintang kejujuran.

Perkara mencontek lalu dikaitkan dengan kejujuran. Bagi saya ini sungguh absurd. Bahwa mencontek adalah perbuatan salah, kita tahu. Namun, apakah mencontek merupakan barang baru dan jadi tolok ukur kejujuran seseorang? Saya ragu.

Aktivitas mencontek siswa lebih jauh dari soal kejujuran. Ini terkait sistem pendidikan yang mengukur prestasi anak semata dari hasil ujian atau ulangan. Kita telah lama berdebat soal ini. Kasus ini hanya salah satu gunung es persoalan kemanfaatan ujian akhir, ujian nasional, yang hanya mengukur satu aspek saja dari pendidikan, yaitu tingkat kognitif siswa. Sementara dua aspek lain, afektif dan psikomotorik, sama sekali tak ditimbang.

Karena UN menjadi target terpenting dari tujuan pendidikan, tiap tahun muncul ketegangan kolektif. Guru, siswa, kepala sekolah, orangtua murid, dan jajaran dinas pendidikan tegang luar biasa. Mereka khawatir hasil ujian jeblok.

Bagi siswa dan orangtua murid jelas dampaknya. Selain mengulang dengan biaya yang tak kecil, mereka menanggung malu. Di tengah persaingan tajam dalam keluarga dan masyarakat terkait prestasi anak, tak lulus atau tidak naik kelas jadi tamparan telak.

Bagi sekolah, setiap ketidaklulusan berdampak pada pencitraan sekolah. Padahal sekolah sangat berkepentingan dengan jumlah murid. Makin tinggi jumlah murid, makin sejahtera sekolah dan tentu para gurunya. Alat ukur yang menentukan minat orangtua dan murid untuk masuk ke sekolah tertentu adalah prestasi belajar yang lagi-lagi diukur oleh kelulusan.

Bagi para pejabat di dinas pendidikan, kelulusan juga berdampak pada status dan jabatannya. Kedudukan dan kondite mereka bergantung benar pada kelulusan siswa tiap tahunnya. Dalam situasi seperti itu, jalan apa lagi yang dapat dipertahankan selain menggenjot prestasi siswa.

Namun, menggenjot prestasi siswa untuk mencapat kelulusan bukan perkara gampang. Penyebabnya justru karena alat ukur kelulusannya hanya dari ujian tertulis yang berlangsung dalam beberapa hari UN. UN lalu menjadi teror yang menyebabkan budaya mencontek kolektif menjadi masuk akal.

Bagi saya, ibu Siami sesungguhnya tak sedang mempersoalkan perkara kejujuran dalam skala kecil dan lokal di lingkungan sekolah Alif. Ia sedang menggugat sebuah sistem. Sistem pendidikan yang hanya memproduksi kecemasan dan teror. Dan teror itu berupa ujian nasional.

Lies Marcoes Senior Program Officer Knowledge Sector, Asia Foundation

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com