Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pembangunan Aceh Menggerus Kesejahteraan

Kompas.com - 09/06/2011, 22:08 WIB

BANDA ACEH, KOMPAS.com - Kesejahteraan warga Aceh belum terangkat, meskipun masa rehabilitasi dan rekonstrusi pascatsunami serta era damai mendorong peningkatan pembangunan infrastruktur.

Hal itu terjadi karena peningkatan pembangunan justru membuat daya beli masyarakat turun,  akibat kenaikan harga barang yang tajam, serta kian tingginya biaya hidup lainnya.

Demikian terungkap dalam diskusi kelompok yang melibatkan sejumlah kalangan masyarakat yang digelar Kompas, Kamis (9/6/2011), di Banda Aceh. Dalam diskusi itu antara lain hadir budayawan Banda Aceh Jauhari Samalanga, aktivisi anti-korupsi dari LSM Gerak Aceh Nining, pegiat pendidikan M Afdal, dan aktivis perempuan Norma Manalu.

Norma mengungkapkan, pascaera konflik dan tsunami, terjadi banyak pembangunan berbagai infrastruktur di Aceh. Peningkatan gaya hidup pun sangat tampak, dengan kian ramainya jalanan dengan berbagai merek mobil terbaru, bahkan-bahkan mobil mewah. Pendapatan masyarakat rata-rata meningkat sebagai dampak banyaknya dana yang terkucur ke Aceh, pada masa pascatsunami dari bantuan-bantuan luar negeri dan pemerintah pusat.

Namun kondisi itu juga diikuti naiknya harga-harga barang dan kebutuhan lain. "Jika dulu pendapatan Rp 500.000 sebelum tsunami masih bisa menabung karena harga-harga murah, sekarang naik 2 kali lipat menjadi Rp 1 juta masih tidak cukup untuk hidup sehari-hari," kata Norma.

Sebagai contoh, lanjut Norma, harga tanah di salah satu sudut Banda Aceh yang sebelum konflik rata-rata hanya Rp 75.000 per meter persegi, sekarang menjadi Rp 3 juta. Harga beras naik dari Rp 5.000 menjadi Rp 10.000 per kilogram.

Semuanya sebagai imbas dari banyaknya dana yang masuk dari luar negeri, yang membuat banyak pihak di Banda Aceh menaikkan harga.

Menurut Nining, meningkatnya jumlah uang yang beredar di Aceh pascakonflik ironisnya terkonsentrasi pada kelompok-kelompok tertentu yang dekat dengan kekuasaan. Banyaknya uang pemerintah diikuti budaya nepotisme yang akut. Dana-dana tersebut tak terserap hingga ke masyarakat bawah, yang ironisnya juga terkena imbas budaya materialisme.

Sementara Jauhari mengungkapkan, kedekatan dengan kekuatan politik menjadi sarana utama untuk dapat mengakses perekonomian secara lebih baik di Banda Aceh pascakonflik ini. Hanya mereka yang mempunyai akses yang dapat menikmati kue ekonomi.

"Hal itu pun juga terjadi pada dunia seniman seperti kami ini. Biasanya pada bulan Juni seperti ini akan terasa banyaknya dana yang mengalir, karena dana pemerintah waktunya cair," kata Jauhari.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com