Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Para Perempuan Besi Itu...

Kompas.com - 15/05/2011, 03:35 WIB

KOMPAS.com — Perjalanan menuju kaki Gunung Bawakaraeng adalah romantisme akan sawah hijau, pucuk pegunungan yang berselimut kabut, dan bentangan langit biru. Ini panorama sempurna yang memburamkan potret kemiskinan di wajah Nanneng (42), sang perempuan panre bassi (pandai besi) itu....

Tanah bergetar. Nanneng menghantamkan palu seberat lima kilogram untuk menempa besi panas membara. Tak sampai 20 pukulan, dia berhenti, mengambil napas, lalu mengelus lengannya. "Perempuan di sini kuat-kuat," ucapnya. Kanang (41), temannya, menimpali, kuat karena ditinggal pergi suami. Tawa mereka berderai, api dari tungku mendesis.

Ini sekelumit kisah dari pammanrean (bilik pandai besi) di Dusun Puncak, Desa Gunung Perak, Kecamatan Sinjai Barat, Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan, sekitar 115 kilometer dari Kota Makassar. Sebanyak 18 perempuan di desa ini bekerja untuk membuat parang, arit, dan pisau dapur.

Para perempuan ini dikenal hingga ke pusat kecamatan. Mereka dianggap sebagai perempuan besi yang tenaganya mengalahkan pria. Tiada yang menyadari, kehidupan di pammanrean adalah rangkaian kerapuhan yang berlangsung bertahun-tahun.

Kerapuhan itu mewujud dalam rupa Nanneng. Suaminya, Baharuddin si pencari kayu, meninggal sepuluh tahun lalu meninggalkan tiga anak dan kemiskinan. Satu-satunya pilihan bagi perempuan yang tidak tamat sekolah dasar seperti dia adalah menjadi panre bassi.

Nanneng adalah generasi ketujuh pandai besi di keluarganya. Ini pekerjaan yang dilakoni oleh mayoritas perempuan di Desa Gunung Perak karena suami lebih memilih bekerja di sawah dan merantau. Mereka belajar hanya dengan melihat dan kekuatan untuk mengayunkan palu bertambah karena kebiasaan.

Desakan ekonomi menyeret Nanneng ke pammanrean. Dia dibantu oleh dua sahi (pembantu) yang bertugas memompa tabung kayu agar api menyala dan menempa besi membantu Nanneng. Tujuh hari dalam seminggu, mereka bekerja sejak pukul 08.00 hingga 17.00.

Ini kerja keras dengan hasil yang minim. Untuk membuat satu parang, misalnya, dibutuhkan setengah kilogram besi tua, arang, dan dua sahi yang diupah Rp 2.500 untuk setiap batang parang. Parang yang ditempa masih harus dikikir sebelum dijual ke Pasar Manipi, sekitar lima kilometer dari Dusun Puncak, dengan harga Rp 35.000 per batang.

Pasar hanya berlangsung setiap Rabu dan para perempuan harus menyewa angkutan dengan biaya Rp 20.000 untuk menuju ke sana. "Kalau hanya laku satu saja, artinya tidak ada uang jajan untuk anak," tukas Nanneng.

Harus kuat

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com