Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Para Perempuan Besi Itu...

Kompas.com - 15/05/2011, 03:35 WIB

Para perempuan yang berjibaku di pammanrean hanya punya satu pilihan: menjadi kuat. Alam tempat mereka berdiam telah mengajarkan mereka untuk bertahan. Dusun yang terletak di ketinggian sekitar 1.200 mdpl ini seakan tersembunyi dari hiruk-pikuk kegembiraan para pendaki yang menuju Gunung Bawakaraeng.

Jalan pedesaan selebar empat meter sudah diaspal, namun tiada angkutan umum yang lewat. Sangatlah jamak penduduk tua dan muda berjalan dengan santai dan perlahan untuk menuju sekolah serta pasar sembari menikmati sawah dan pegunungan di kiri-kanan jalan yang berliku tajam. Angkutan baru digunakan jika penduduk hendak menjual barang dalam jumlah banyak ke pasar.

Hasil alam yang bisa diandalkan hanya sawah yang dipanen dua kali dalam setahun. Sawah milik Nanneng yang katanya, "Malu sebut luasnya karena sangat sedikit", menghasilkan sepuluh liter beras saja. Beras itu hanya mencukupi kebutuhan dia dan tiga anaknya selama sebulan. Untuk itulah dia tetap menjadi panre bassi agar bisa membeli kebutuhan pokok.

Dusun yang dihuni sekitar 150 keluarga ini bak dusun kaum perempuan. Mayoritas pria merantau sejak belasan tahun lalu dan kembali tak tentu waktu. Ini juga yang mendorong Kanang menjadi sahi setelah suaminya, Yusuf, merantau menjadi buruh harian di Makassar hingga Jayapura.

Sejak anak sulung mereka berusia 40 hari, Yusuf sudah meninggalkan dusun dan hanya kembali dua bulan sekali. "Anak bungsu lahir pun tidak dilihat bapaknya," kata Kanang dengan nada datar.

Kebutuhan semakin banyak dan Yusuf semakin jarang pulang. Dari satu bulan menjadi tiga bulan hingga Kanang tidak lagi menunggu. "Yang penting uang bulanan datang," ucapnya.

Yusuf menitipkan uang belanja untuk istrinya kepada sopir truk di Makassar yang sebulan sekali membawa pesanan besi tua dari Makassar ke Dusun Puncak. Bagi Kanang, uang itu bisa dipakai untuk membeli beras, tetapi tidak akan menggantikan ketidakhadiran sosok ayah bagi lima anaknya.

Janji tinggal janji

Dari balik pammanrean, para perempuan tengah mempertahankan kehidupan kendati itu harus dibayar dengan kesehatan yang memburuk. Puluhan tahun bekerja dengan bara api, besi, dan tungku panas membuat kulit tangan Nanneng melepuh dan berbintik kecoklatan. Dia tidak menggunakan sarung tangan karena dianggap menghambat pergerakan.

Panre bassi lainnya, Halijah (50), mengeluhkan tangannya yang pegal-pegal setiap malam sehingga kerap sulit tidur. Paparan api dan serbuk besi dalam waktu lama membuatnya kerap batuk dan sesak napas. Tetapi, pergi dokter tak pernah ada dalam kamus mereka. Biaya ke dokter artinya mengurangi jatah untuk membeli beras.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com