Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tri Hita Karana Versus Fakta

Kompas.com - 20/09/2010, 21:22 WIB

Indah, itulah kata pertama yang selalu diingat jika menyebut Bali, pulau seribu pura, Pulau Dewata. Saking indahnya ada yang menyebutnya surga dunia. Setiap hari sekitar 5.458 wisawatawan domestik dan international masuk Bali. Tak heran jika pendapatan terbesar provinsi ini dari sektor pariwisata.

Berdasarkan data Bali dalam angka tahun 2009, pada 2008 jumlah wisatawan ke Bali sebanyak 1.992.299 orang, meningkat 19,4 persen dari tahun sebelumnya. Surat kabar lokal malah pernah melansir berita, jumlah wisatawan ke Bali melebihi jumlah penduduknya.

Dari data yang sama disebutkan, total luas Provinsi Bali 5.634,40 hektar, dengan kepadatan penduduk 652 orang per km persegi. Seiring berkembangnya Bali sebagai provinsi wisata, jumlah investor yang masuk pun semakin banyak. Ini pada akhirnya berimbas pada meningkatnya jumlah pembangunan dan pendatang. Lalu, apa dampaknya pada lingkungan Bali?

Tahun 2010 Pemerintah Provinsi Bali (Pemprov Bali) mencanangkan program Bali hijau dan bersih. Tampaknya mudah menjalankan program ini, mengingat pengembangan pariwisata Bali didasarkan konsep Tri Hita Karana, yaitu keseimbangan hubungan antara manusia, alam, dan Sang Pencipta. Hal itu tentunya membuat Bali tetap ajeg, lestari alamnya, terpelihara seni-budayanya, dan makmur masyarakatnya. Tetapi, apakah pada kenyataanya semua berjalan sesuai konsep Tri Hita Karana?

Mari bicara tentang hutan di Bali. Berdasarkan data statistik lingkungan hidup Indonesia 2009, luas hutan di Bali 130.686,01 hektar (23,2 persen luas Provinsi Bali). Luas hutan ini mencakup hutan lindung, hutan produksi terbatas, dan hutan produksi. Dari semua itu, 3 hektar (ha) mengalami kerusakan. Kerusakan tersebut antara lain disebabkan aktivitas perambah hutan. Selain itu, Bali juga memiliki kawasan hutan bakau seluas 2.215,5 ha, 2.004,5 ha dalam kawasan hutan dan 211 ha di kawasan nonhutan.

Nah, yang masuk kategori rusak berat seluas 253,4 ha (11,44 persen), kategori rusak 201,5 (9,1 persen), dan kategori tak rusak 1.760,6 (79,47 persen). Selain karena perambahan hutan, kerusakan juga sebab alih fungsi, misalnya pembukaan tambak di Kabupaten Buleleng.

Pesatnya pembangunan

Bicara tentang wilayah di luar kawasan hutan, dalam beberapa tahun terakhir kita melihat pesatnya pembangunan di Bali, seperti mal, hotel, restoran, vila, perumahan, tempat kos, ruko, dan pompa bensin. Seberapa banyak dari tempat-tempat tersebut yang memiliki daerah hijau?

Banjir pun terjadi di wilayah-wilayah dataran yang rendah, karena tak ada lagi daerah resapan air. Kondisi ini ditambah perubahan iklim dunia. Tak adanya peraturan yang mengharuskan terdapat daerah hijau untuk setiap bangunan, dan masih tergantungnya pada inisiatif dari pemilik bangunan, memperparah kondisi ini.

Selain itu, kesadaran masyarakat yang masih kurang tentang pentingnya kebersihan lingkungan, penggunaan kemasan plastik yang tinggi, pembuangan sampah di sembarang tempat, dan got yang jarang dibersihkan, pada akhirnya berakibat pada mendangkalnya sungai.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com