KOMPAS.com - Rumah Sakit Umum Daerah Paniai di Provinsi Papua Tengah kembali dibuka, Selasa (29/05), setelah ditutup selama dua hari. Tuduhan berbeda saling dilemparkan oleh TNI/Polri dan milisi pro-kemerdekaan terkait penutupan rumah sakit menyusul eskalasi konflik bersenjata sejak pembunuhan Komandan Rayon Militer Aradide pada awal Mei lalu.
Para pekerja medis asli Papua mempertanyakan penempatan personel militer dan kepolisian di rumah sakit rujukan untuk Kabupaten Paniai, Dogiyai, dan Deiyai tersebut. Adapun, sejumlah pekerja medis di RSUD itu khawatir akan menjadi korban konfik bersenjata.
Apa pemicu dan dampak penutupan RSUD Paniai? Respons apa saja yang muncul di kabupaten itu?
BBC News Indonesia berbicara dengan para pejabat terkait serta warga sipil untuk menelisik polemik tersebut.
Baca juga: Penjelasan TNI soal Isu Penutupan RSUD Madi di Paniai
Satu per satu pasien rawat inap mulai keluar dari RSUD Paniai sejak 22 Mei, kata seorang pemuka agama di kabupaten tersebut.
Seperti banyak orang yang berbicara kepada BBC News Indonesia terkait konflik Papua, dia meminta identitasnya disembunyikan atas alasan keamanan.
Pemuka agama ini berkata, sejumlah pasien saat itu memutuskan pulang sebelum menuntaskan perawatan. Mereka cemas terdampak konflik bersenjata di pusat Kabupaten Paniai.
RSUD Paniai berjarak sekitar satu kilometer dari gedung sekolah YPPGI Kepas Kopo dan sederet kios di Jalan Raya Madi yang dibakar pada 22 Mei dini hari. Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) telah menyatakan diri sebagai pihak yang melakukan pembakaran tersebut.
Baca juga: Satu Anggota KKB Tewas Tertembak di Paniai Papua Tengah
Aparat keamanan membuat klaim, seorang warga sipil kehilangan nyawa karena ditembak TPNPB dalam kontak senjata pada hari itu. Pada saat yang sama, seorang milisi pro-kemerdekaan bernama Detius Kogoya tewas di tangan aparat, meski sempat dilarikan ke RSUD Paniai.
Namun baru pada 26 Mei, RSUD Paniai benar-benar berhenti beroperasi. Seluruh pasien rawat inap telah keluar, termasuk enam pasien anak yang dipindahkan ke RSUD Kabupaten Deiyai. Dua RSUD ini berjarak sekitar 24 kilometer.
Pada hari Minggu itu, pasukan militer menempati dan bermalam di lantai tiga RSUD Paniai, kata seorang tenaga kesehatan. Keesokan harinya, pada 27 Mei, rumah sakit itu ditutup penuh. Sebuah truk militer berwarna hijau dan dua mobil patroli terlihat diparkir di depan poliklinik RSUD. Tidak ada kendaraan lain maupun pekerja medis yang terlihat di halaman rumah sakit itu.
Senin (27/05) pagi itu, puluhan tenaga medis, terutama perawat asli Papua, berkumpul di sekitar rumah sakit. Mereka menuntut aparat militer keluar dari RSUD. Mereka berkeras, pelayanan kesehatan harus bergulir kembali.
“Rumah sakit ini bukan tempat untuk bikin pos, di sini tempat pelayanan,” kata seorang tenaga kesehatan pada momen protes itu.
Baca juga: Komandan KKB Dokoge Paniai Ditangkap
”Kami yang bertugas di rumah sakit: perawat, satpam, petugas kebersihan, berkumpul di halaman rumah sakit. Kami mau kasih keluar tentara yang ada di lantai tiga agar kami bisa melayani masyarakat,” serunya.
Poin utama mereka adalah tuntutan agar pemerintah “segera menarik kembali semua personel TNI/Polri yang sudah ditempatkan di lantai tiga RSUD selama empat hari empat malam”.
Pada spanduk itu, mereka juga menulis bahwa penutupan RSUD oleh aparat memicu “pemulangan pasien tanpa sebab sehingga merugikan jiwa pasien”.
Para tenaga medis itu menyatakan, mereka ingin kembali melayani masyarakat pada 28 Mei.
Para tenaga medis yang mayoritas merupakan orang asli Papua itu kemudian dijumpai oleh otoritas di kabupaten itu dalam sebuah forum musyawarah. Selain mereka, pertemuan itu dihadiri pula oleh Kapolres Paniai, AKBP Abdul Syukur Felani; Direktur RSUD Paniai, Agus Chen; dan Pelaksana Tugas Sekretaris Daerah Paniai, Soleman Boma.
Baca juga: Prajurit TNI Diserang KKB Saat Berpatroli di Paniai Papua Tengah
Soleman, dalam forum itu, menyebut keberadaan RSUD Paniai vital bagi masyarakat. Dia meminta rumah sakit itu dapat kembali beroperasi per 28 Mei. Dia berkata, tentara dan polisi harus keluar dari rumah sakit, tapi “tetap memberikan rasa aman kepada para tenaga medis”.
Soleman menyebut terdapat kabar bohong yang beredar di masyarakat sehingga menyebabkan penutupan rumah sakit. Dia tidak menyebut secara detail hoaks yang dia maksud.
“Hoaks ini harus dilawan. Ini perang. Maka, semua tenaga kesehatan satukan persepsi agar bisa menjalankan tugas dengan baik,” ujar Soleman.
“Kepentingan melayani sangat penting, tidak bisa kepentingan pribadi yang diutamakan,” imbuhnya.
Dokter Agus, pimpinan RSUD Paniai, menyebut keberadaan tentara di tempat kerjanya merupakan instruksi Kementerian Kesehatan. Instruksi itu, kata Agus, keluar setelah otoritas kesehatan berkoordinasi dengan Panglima Kodam Cenderawasih, Mayjen Izak Pangemanan, terkait situasi keamanan di Paniai.
Baca juga: Penganiayaan oleh OTK di Paniai, Seorang Tukang Ojek Meninggal Dunia
“Karena ada nakes yang masih melayani, untuk memberikan rasa aman, akhirnya satgas gabungan TNI/Polri itu dikirim,” kata Agus.
“Mereka tugasnya untuk menjaga, bukan untuk apa-apa, untuk pendatang dan putra daerah.
“Kami takut KKB. Saya takut, semua takut KKB,” kata Agus menyebut istilah kelompok kriminal bersenjata yang digunakan pemerintah saat merujuk TPNPB.
Seiring peningkatan intensitas kontak tembak di Paniai, Agus meminta para dokter RSUD untuk bekerja di Puskesmas Enarotali. Tujuannya, kata dia, selain untuk menghilangkan keresahan para dokter tersebut, tapi juga untuk memastikan pelayanan medis tetap berjalan.
Agus berkata, penempatan aparat di RSUD Paniai adalah upaya mencegah pembakaran fasilitas kesehatan. Strategi itu, klaim dia, untuk mengantisipasi berulangnya pembakaran puskesmas di sejumlah daerah di Papua, yang dituduhkan kepada milisi pro-kemerdekaan.
Baca juga: Fakta Pembunuhan Danramil 04 Aradide: Dibunuh OPM, Kondisi Paniai Masih Kondusif
Alasan serupa dinyatakan Juru Bicara Kodam Cenderawasih, Letkol Candra Kurniawan. Dia membantah bahwa militer telah mengusir para pasien rawat inap. Candra membuat klaim, tentara datang ke RSUD Paniai justru karena permintaan tenaga medis yang takut kepada TPNPB.
Namun, sebagaimana tuntutan para tenaga kerja yang berkumpul di depan RSUD Paniai, Senin lalu, Agus menyebut sebagian pegawai rumah sakit “risih dengan kedatangan tentara dan polisi”.
Sebagai jalan tengah, dalam forum musyawarah Senin pagi lalu, Agus meminta pemerintah mengerahkan Satpol PP untuk berjaga di dalam lingkungan RSUD. Forum itu menyepakati, tentara dan polisi akan keluar dari rumah sakit itu. Mereka dipindahkan ke gedung Perpustakaan Daerah.
Sebaliknya, kata Sebby, pihak aparat keamananlah yang telah melanggar hukum humaniter internasional dalam pengambilalihan rumah sakit tersebut.
“TNI melakukan pembohongan publik. Kami tidak ada rencana seperti itu,” ujarnya.
Sebby membuat klaim, pihaknya hanya mengincar aparat keamanan dalam konflik bersenjata di Papua. Dia berkata, TNI/Polri harus meninggalkan lingkungan warga sipil agar kontak tembak tidak menyasar warga.
Dalam berbagai peristiwa, Sebby menyebut milisi pro-kemerdekaan menyerang fasilitas pendidikan dan kesehatan yang digunakan aparat militer dan kepolisian sebagai pos. Ini bertentangan dengan yang dia sampaikan kepada BBC News Indonesia terkait RSUD Paniai.
Baca juga: Sosok Letda Oktavianus Danramil Aradide yang Gugur Ditembak OPM Paniai, Dikenal Pengayom Masyarakat
Eskalasi kontak tembak di Paniai meningkat sejak TPNPB membunuh Komandan Koramil Aradide, Letnan Dua Oktavianus Sogalrey, awal April lalu. Dia tewas dalam serangan mendadak oleh milisi TPNPB di Jalan Trans Paniai-Intan Jaya.
Sebelum kematiannya, Oktavianus tengah mengendarai sepeda motor seorang diri. Milisi TPNPB yang bersembunyi di semak belukar kemudian menyerangnya dengan tembakan dan senjata tajam.
TPNPB menyebut pembunuhan Sogalrey adalah pembalasan mereka atas aksi aparat militer yang membunuh pimpinan milisi pro-kemerdekaan, Abubakar Kagoya di Tembagapura, Mimika.
Sekitar sebulan setelah kejadian itu, kepolisian menangkap laki-laki bernama Anan Nawipa, yang mereka tuduh sebagai anggota TPNPB pelaku pembunuhan Sogalrey.
Baca juga: Pergi Seorang Diri, Danramil di Paniai Gugur Ditembak KKB
Namun pimpinan TPNPB, Matius Gobay, menyebut Anan sebagai korban salah tangkap. “Dia orang tidak berdosa,” ujarnya.
“Selama dua hari saya sudah cek sampai pos terbawah, tidak ada namanya. Kalau dia pelaku pembunuhan, dia tidak akan keluar ke daerah Enarotali (ibu kota Paniai),” kata Matius.
Eskalasi konflik bersenjata di Paniai terus meningkat sejak peristiwa itu. Sebby Sambom berkata, TPNPB menyatakan kabupaten tersebut sebagai zona perang.
Mereka membakar gedung sekolah YPPGI Kepas Kopo di dekat RSUD Paniai yang dalam beberap waktu terakhir digunakan oleh aparat militer dan kepolisian.
Seorang pimpinan gereja di Paniai berkata, situasi keamanan di Paniai pada 22 hingga 24 Mei begitu mencekam. Kontak tembak dan pembakaran fasilitas umum memicu ketakutan di masyarakat. Situasi itu, menurutnya, lebih buruk dari Tragedi Paniai Berdarah pada 8 Desember 2014.
Baca juga: Sosok Letda Oktavianus Danramil Aradide yang Gugur Ditembak OPM Paniai, Dikenal Pengayom Masyarakat
Dalam peristiwa Paniai Berdarah yang disebut Komnas HAM tergolong pelanggaran HAM berat itu, lima orang tewas dan belasan orang terluka. Pemicunya, aparat militer dan keamanan menembaki kerumunan pengunjuk rasa di Lapangan Karel Gobai, Enarotali.
Satu-satunya terdakwa dalam kasus itu, Isak Sattu, dibebaskan oleh Pengadilan HAM Makassar pada Desember 2022.
“Biasanya kalau terjadi sebuah peristiwa, jam itu terjadi, jam itu selesai,” kata pendeta yang turut mendampingi keluarga korban Tragedi Paniai Berdarah.
“Tapi yang terjadi sekarang ini, lebih menakutkan. Masyarakat waswas.”
“Selama tiga hari berturut-turut sejak 22 Mei, warga non-Papua menutup pintu, semua kios dan warung tutup. Orang asli Papua juga sama, mereka menetap di rumah selama tiga hari,” ujar pendeta tersebut.
Baca juga: Danramil Aradide Papua Ditembak OPM, TNI Sebut Situasi di Paniai Kondusif
”Kami salah apa? Apakah kami meminta uang saat melayani orang sakit,” ujar Agus.
“Saya sedih, kenapa kami dipojokkan? Apakah itu untuk mencari perhatian?” tuturnya.
Komite Palang Merah Internasional, sebuah organisasi kemanusiaan yang diberi mandat oleh negara-negara penandatangan Konvensi Jenewa untuk melindungi korban konflik bersenjata, berulang kali menyerukan posisi rumah sakit dan fasilitas medis dalam situasi perang.
Protokol Tambahan II 1977 mengatur tambahan ketentuan khusus mengenai konflik bersenjata non-internasional atau yang terjadi dalam cakupan domestik sebuah negara. Menurut regulasi ini, para pihak yang berkonflik tidak boleh menyerang warga sipil, rumah ibadah, rumah sakit dan juga pekerja kesehatan.
Baca juga: Basarnas Temukan 2 Jasad Korban Longsor di Arfak Papua Barat
Namun, pemerintah Indonesia hingga saat ini belum meratifikasi atau memberlakukan Protokol II Konvensi Jenewa itu ke dalam peraturan perundang-undangan nasional. Keengganan ini sebuah langkah yang dikritik Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras) sebagai langkah politis pemerintah Indonesia.
Selasa (28/05) pagi, personel TNI/Polri telah meninggalkan RSUD Paniai. Pekerja medis dan pegawai lain di rumah sakit itu membersihkan lantai tiga yang digunakan aparat keamanan untuk bermalam.
“Kepada masyarakat yang mau berobat jangan terhambat dengan hal-hal yang tidak masuk akal, mulai pagi ini kalian bisa datang berobat,” kata seorang pekerja medis.
Reportase tambahan oleh wartawan di Nabire, Abeth You.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.