KOMPAS.com - Ribuan kepala desa, perangkat desa, dan BPD, berkumpul di Gelora Bung Karno (GBK) untuk mendesak agar pemerintah pusat mengantarkan dana desa sebesar 10 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Mereka juga meminta pemilihan kepala desa 2023 di 7.000 desa tidak ditunda. Selain itu, para perangkat desa itu pun meminta pemerintah pusat untuk menetapkan Hari Desa Nasional.
Anggota DPR RI, Dedi Mulyadi mengatakan, aspirasi yang disampaikan para kepala desa itu lumrah.
Pasalnya, menurut Dedi, Indonesia terdiri dari desa-desa dan seluruh Sumber Daya Alam (SDA) yang dimiliki berada di desa.
Baca juga: Alokasi Dana Desa di Jatim Rp 7,9 Triliun, Pemprov: Sudah Disalurkan Rp 2,134 Triliun
Ketika desa mulai mendapatkan alokasi dana desa untuk pembangunan infrastruktur, dia menilai, efek yang dirasakan semakin baik dibandingkan sebelumnya.
"Pengajuan anggaran desa 10 persen dari APBN yang diajukan Apdesi itu merupakan hal yang lumrah dilakukan oleh para kepala desa," kata Dedi dalam keterangan tertulisnya yang diterima Kompas.com, pada Senin (20/3/2023).
"Jadi baru disawer sedikit saja desa sudah tumbuh apalagi kalau dibangun sistem memadai, bagi hasil antara pusat dan desa, itu akan (memicu) efek pertumbuhan ekonomi, infrastruktur, sampai investasi desa," imbuhnya.
Terkait kekhawatiran adanya penyimpangan pengelolaan dana desa, Dedi menjelaskan, hal itu terjadi karena anggaran desa selalu menjadi sorotan dan yang menyorotnya pun banyak.
Baca juga: Imbas Event Trail di Ranca Upas, Dedi Mulyadi Minta Offroad di Hutan Dihentikan
Dia membeberkan, pihak-pihak yang menyoroti hal itu antara lain, oposisi atau kelompok yang kalah dalam pemilihan kepala desa, LSM yang fokus pada anggaran desa, serta oknum wartawan "bodrek" yang kerap mempertanyakan dana desa.
"Sehingga saat ini desa sangat terawasi. Sudah kecil yang mengawasi banyak sehingga gampang ketahuan salahnya," ujar Dedi.
Kondisi tersebut, menurutnya, berbeda dengan kabupaten atau kota, provinsi, bahkan pusat yang memiliki anggaran sangat besar sehingga sangat sulit diawasi dan yang mengawasinya pun tak banyak.
Semakin tinggi jenjang pemerintahan, semakin sulit diakses dan diawasi. Sebaliknya, semakin rendah, justru semakin mudah untuk diawasi.
"Contoh kecilnya saja, di desa ada jalan lingkungan yang setiap hari dilewati oleh warga, dilewati oleh oposisi, LSM, dan lain-lain. Jalan itu sangat gampang diawasi dan lapornya gampang, berbeda dengan jalan nasional," jelasnya.
Sebagai orang yang hidup di desa dan berhubungan dengan kepala desa, Dedi menyampaikan, pernyataan yang dilontarkan Ketua Umum DPP Apdesi, Surtawijaya, adalah hal yang wajar.
"Sebagai orang yang setiap hari di desa, berhubungan dengan desa, bahkan kalau olahraga pagi bareng kepala desa dan sering dicurhati, pengajuan itu adalah hal yang lumrah dan itu bentuk aspirasi yang harus dihargai," pungkasnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.