Selain mengeluarkan biaya angkut LCT, mereka juga harus mengeluarkan biaya panen Rp 200.000 dan ongkos melansir keluar Rp 100.000.
"Sejak 14 hari ini, harga TBS per ton Rp 500.000 dari Rp 1,2 juta. Hasil keuntungan bersih kami itu hanya berkisar Rp 200.000 sampai Rp 300.000 saja. Saat ini, sudah sebulan petani Sebakis tidak panen karena terasa sekali akibat anjloknya harga," ujar dia.
Fluktuasi harga TBS yang kian anjlok, kata Sahir, terjadi mulai April 2022 yang masih di kisaran Rp 3,2 juta, turun menjadi Rp 2,7 juta dan terus menukik di harga Rp 1,2 juta mulai Idul Fitri 2022.
Sahir berharap, pemerintah daerah mencari jalan agar dua perusahaan terdekat, mau menerima TBS mereka dengan harga yang sesuai.
"Kalau bisa, dua perusahaan di Sebakis mau terima buah kami. Kami coba berhitung, biaya ongkos kami membawa TBS ke perusahaan lain Rp 600.000. Jika dikalikan hasil panen terendah petani setempat dengan jumlah 2.000 ton perbulan, maka hasil panen petani bernilai Rp 1,8 miliar. Jumlah yang cukup untuk membangun jalan tol di Sebakis," kata Sahir.
Baca juga: Keluh Kesah Petani Kelapa Sawit di Sumut Saat Harga TBS Anjlok ke Rp 800 Per Kg
Sahir menegaskan, mayoritas petani di Kabupaten Nunukan adalah petani mandiri, sehingga mereka termarginalkan apabila menganut Permentan Pasal 4 Tahun 2018 yang menjelaskan bahwa PKS hanya menerima petani plasma dan kemitraan.
Sahir meminta pemerintah mencari solusi atas ketentuan tersebut, dengan mengevaluasi kembali tentang penerimaan hasi panen TBS petani mandiri dan plasma.
"Kalau tidak dievaluasi apa nasib kami nanti? Dan apabila Pemkab Nunukan tidak bisa menuruti tuntutan kami, tolong izinkan kami menjual TBS ke Malaysia. Harga di sana RM 1360 atau hampir Rp 5 juta rupiah," harap dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.